123
Eriska kesal. Begitu keluar dari mobil, ia berjalan cepat menuju gerbang sekolah tanpa menengok ke belakang lagi. Ia tidak menghiraukan mamanya yang gundah saat memandanginya dari belakang kemudi. Eriska memang ingin memperlihatkan kemarahannya kepada sang Mama karena telah menolak permintaannya untuk dibelikan smartphone terbaru.
Padahal ia telah berupaya merayu Mama di sepanjang perjalanan tadi.
“Handphone yang Eris punya sekarang payah, Ma. Tidak seperti smartphone milik Nayla yang canggih,” mulai Eriska. Nayla adalah teman Eriska di kelas 7 SMP Kusuma.
“Oh, ya?,” jawab Mama dengan dingin. Matanya terus melihat ke depan jalan.
“Iya, Ma. Smartphone Nayla tidak cuma untuk menelpon, tetapi bisa juga buat chatting-chatting-an. Bisa facebook-an, twitter-an, internet-an. Games-nya juga bagus-bagus,” urai Eriska dengan antusias.
“Kok, kamu tahu?”
“Kemarin Nayla membawanya ke sekolah. Secara sembunyi-sembunyi ia memperlihatkannya ke Eriska,” Eriska merasa perlu menjelaskan dengan gamblang agar mamanya tidak salah paham. Di sekolahnya memang ada peraturan yang melarang para pelajar membawa gadget ke sekolah.
“Hati-hati, kalau Nayla ketahuan guru kamu bisa kena getahnya,” kata Mama sambil melihat Eriska dengan wajah serius. Dalam hati, Eriska setuju. Tetapi, ia merasa Mama belum memberikan jawaban atas permintaannya. Ia lalu melanjutkan:
“Bagaimana, Ma?”
“Apanya?”
“Smartphone-nya. Eris beliin ya, Ma?”
“Tidak sekarang Eris, sayang. Ingat, dulu kita sudah pernah berdiskusi soal ini. Mama sama Papa membelikanmu handphone agar kita bisa ngobrol langsung. Tidak lewat chatting, apalagi facebook dan twitter. Lagi pula smartphone itu bukan barang murah, Eris,” Elak Mama tetap tenang. Eriska mulai melihat ada tanda-tanda penolakan. Ia kembali melancarkan jurus rayuannya.
“Harganya sudah murah, kok, Ma. Nayla bilang smartphone punyanya itu harganya dua setengah juta rupiah. Itu dulu. Waktu ia dibelikan papanya setahun yang lalu. Kalau sekarang-sekarang ini harganya mungkin hanya setengahnya.”
“Kalaupun begitu, kamu, kita, harus bisa membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Smartphone yang kamu inginkan ini belum tentu barang yang betul-betul kamu butuhkan.”
“Tetapi, Eriska butuh, Ma. Buat diskusi sama teman atau untuk tanya-tanya soal pelajaran di sekolah.” Eriska bersikeras sambil memegangi tangan kiri Mamanya dengan kedua tangannya. Mama tersenyum.
“Kalau hanya seperti itu kan bisa lewat nelpon langsung atau sms-an.”
“SMS beda sama chatting, Ma,” sungut Eriska. Mama diam. Ia tidak mau berdebat lagi lagi dengan anak semata wayangnya. Keputusannya sudah bulat.
“Jadi, Mama tidak mau membelikan Eriska smartphone seperti Nayla?” Cecar Eriska.
“Bukan tidak mau. Tetapi belum. Nanti, kalau kamu sudah dewasa Mama pasti akan membelikannya untukmu,” jawab Mama dengan nada tegas.
“Huh, Mama tidak adil! Mengapa Mama dan Papa boleh memiliki smartphone yang harganya mahal-mahal, sementara Eris tidak boleh?” Protes Eriska dengan nada menggerutu.
“Eriska! Smartphone Mama, juga Papa, digunakan untuk pekerjaan kantor. Nanti, kalau Eris sudah seperti Mama, Eris pasti akan membutuhkannya juga. Sekarang, Eris adalah seorang anak pelajar SMP. Yang Eris butuhkan adalah bermain dan belajar. Smartphone itu bukan alat permainan. Apalagi untuk belajar. Malah, bisa-bisa Eris tidak mau belajar kalau sudah punya smartphone. Padahal, sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian akhir,” jawab Mama kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Eriska terdiam. Kali ini ia betul-betul kecewa. Keinginannya kandas. Sang Mama juga terdiam. Jauh di dalam hati, Mama sebetulnya merasa kasihan karena tahu Eriska pasti kecewa. Tetapi, ia tidak ingin putri cantik semata wayangnya itu melampaui batas-batas yang telah ia tentukan bersama suaminya.
Di dalam kelas, kekecewaan Eriska ternyata berlanjut. Gairahnya untuk mengikuti pelajaran tak sebesar hari-hari sebelumnya. Saat jam istirahat, Eriska memilih tetap berdiam di dalam kelas. Saat itu Nayla mendatanginya.
“Eris, kamu lagi sedih, ya?” Tanya Nayla.
“Nggak. Nggak, kenapa-kenapa. Aku hanya sedang malas saja,” jawab Eriska sekenanya.
“Kamu habis dimarahi, ya?”
“Nggak. Sudah, ah, aku sedang tidak mau ngomongin soal-soal yang kayak gitu. Eh, Nayla kamu bawa smartphone-mu?”
“Bawa. Tapi, aku malas mengeluarkannya. Masih ada dia tuh,” kata Nayla sambil matanya mengarah ke pintu tempat di mana ketua kelas Royke sedang berdiri membelakangi mereka. Nayla ingin memberitahu Eriska bila ia khawatir Royke akan mengadukan perbuatannya yang membawa gadget kepada wali kelas.
“Kita ke kantin saja, yuk,” ajak Nayla.
“Aku bawa bekal, Nay.”
“Yaa, padahal aku ingin ajak kamu ngobrol di kantin. Kamu ingat Ferdinand, kan, Ris? Anak SMA Buana yang aku kenal melalui facebook? Kemarin, dia mengajakku ketemuan di taman kota nanti sore,” ungkap Nayla sambil tersenyum senang.
“Hah? Terus kamu mau?”
“Hmmm. Iya.”
“Ketemuannya berduaan?”
“Enggak. Ketemuannya sekeluarga. Ya, iyalah, Ris, ketemuannya cuma berdua.”
“Kamu tidak takut, Nay?”
“Takut kenapa? Dia itu baik lagi, Ris. Orangnya lucu. Kalau aku lagi bete dia itu sering ngirim gambar atau pantun yang bikin aku ketawa. Lagi pula aku penasaran. Habis kayaknya anaknya keren, sih, Ris. Tetapi, udah, ah. Ayo, ngobrolnya di kantin aja. Aku yang traktir, deh. Aku lapar banget, nih, karena tadi pagi tidak sarapan,” ujar Nayla sambil berdiri.
“Terima kasih, Nay. Aku makan di sini saja.” Eriska sebetulnya ingin ikut Nayla, tetapi ia harus menghabiskan bekal yang dibawanya di ruang kelas. Nayla pun pergi tanpa Eriska.
Sepeninggal Nayla, Eriska mengunyah makanan dengan malas. Selera makannya nyaris hilang. Ia membandingkan nasibnya dengan Nayla. Betapa senangnya menjadi Nayla. Punya smartphone, bisa facebook-an atau twitter-an sesuka hati, dapat uang jajan setiap hari. Bahkan, Nayla pernah bercerita bila malam Minggu tiba, ia sering bepergian mengendarai motor dengan teman-teman di rumahnya hingga larut malam. Eriska berharap, seandainya ia juga mendapatkan kebebasan dan kesenangan itu. Namun, ia juga sadar bila harapan itu sulit menjadi nyata. Nayla bisa sebebas itu karena kedua orang tuanya telah bercerai setengah tahun yang lalu.
“Tetapi, bukankah dengan kedua orang tua yang lengkap, seharusnya kesenangan yang ia dapatkan bisa lebih banyak?” Di dalam hati Eriska terus bertanya.
Sepulang sekolah, Eriska mengurung diri di dalam kamar. Ia keluar hanya seperlunya. Eriska ingin kedua orang tuanya tahu bila ia memprotes sikap mereka. Libur pada hari Sabtu dan Minggu itu menjadi tidak seperti biasa. Saat kedua orang tuanya mengajaknya ke rumah paman, Eriska menolak dengan alasan malas. Eriska lebih memilih tinggal bersama Bibi Neni di rumah. Menjelang tidur, Eriska dinasehati Mama dan Papa agar tidak memaksakan kehendak. Eriska hanya terdiam. Ia betul-betul kecewa karena Mama dan Papa ternyata tak mengubah keputusan mereka.
Kekesalan Eriska tak juga mencair. Dalam perjalanan ke sekolah, ia tak banyak bicara. Eriska memilih untuk berpura-pura membaca buku pelajaran. Saat Mama bertanya ia hanya menjawab sekedarnya. Di sekolah pun demikian. Eriska memilih menyendiri ketika teman-temannya sedang asyik berbincang atau bercanda. Hingga Eriska sadar bila sejak tadi tak dilihatnya Nayla. Ingin ia bertanya kepada teman-temannya tentang Nayla, namun Pak Anton keburu datang. Guru Bahasa Indonesia itu ternyata menghampiri Eriska dan memintanya ke ruang kepala sekolah.
Di dalam ruang kepala sekolah, Eriska disambut Bu Alicia. Kepala sekolah itu lalu memperkenalkan beberapa orang yang baru pertama kali dilihat Eriska. Salah satunya berseragam polisi. Ada juga seorang ibu yang wajahnya terlihat sembab seperti habis menangis. Bu Alicia memperkenalkan perempuan itu sebagai mama Nayla. Eriska semakin diselimuti tanda tanya.
“Eris, kamu kan teman dekat Nayla. Waktu hari Jumat kemarin apakah Nayla sempat ngobrol sama kamu?” Tanya Bu Alicia dengan lembut.
“Iya. Tapi nggak lama.”
“Ngobrol apa saja?” Lanjut Bu Alicia. Eriska terdiam sejenak. Ia mencoba mengumpulkan ingatan yang berserak di dalam kepalanya.
“Emm, Nayla bilang kalau ia ingin bertemu dengan temannya yang bernama Ferdinand di taman kota..,” Jawaban Eriska membuat Mama Nayla semakin gelisah. Ia pun tak dapat menahan diri untuk bertanya:
“Kapan pertemuannya?”
“Kata Nayla Jumat sore. Setelah pulang sekolah,” jawab Eriska. Ia kaget karena jawabannya itu malah membuat Mama Nayla kembali menangis. Bu Alicia mencoba menenangkannya dengan mengusap-usap bahunya. Pak Polisi lalu menghampiri tempat duduk Nayla. Sambil berdiri ia lalu memperlihatkan sebuah foto seorang pemuda kepada Eriska.
“Apakah, dia ini yang bernama Ferdinand?” Tanya polisi itu. Eriska tidak langsung menjawab. Ia tidak yakin bila pernah melihat wajah pemuda itu di dalam smartphone milik Nayla.
“Ferdinand yang katanya siswa SMA Buana…,” lanjut Pak Polisi. Ingatan Eriska pun semakin kuat.
“Ya. Ya, dia yang namanya Ferdinand. Nayla pernah menunjukkan foto-fotonya..,” Eriska menjawab dengan yakin. Polisi itu tersenyum lalu mengucap terima kasih kepada Eriska. Ia lalu ke luar ruangan sambil meraih handy talkie yang tergantung di pinggangnya. Eriska semakin bingung. Ia lalu bertanya kepada Bu Alicia.
“Memangnya Nayla kenapa, Bu?”
“Nayla menghilang sejak Jumat kemarin. Ia belum pulang setelah izin mau membeli pulsa dengan mengendarai motor. Dari facebook Nayla, diketahui kalau ia berjanji menemui Ferdinand di taman kota. Mungkin setelah bertemu, ia lalu diajak atau…,” Penjelasan Bu Alicia terpotong oleh kehadiran seorang pria berwajah panik. Ia lalu memperkenalkan diri kepada semua orang sebagai Papa Nayla. Ketika melihat Mama Nayla, ia bertanya.
“Bagaimana Nayla, Win? Sudah ditemukan?” Tanya Papa Nayla kepada Mama Nayla, mantan istrinya.
“Belum, Ron…huu.. huu..,” tangis Mama Nayla semakin keras. Bahkan meningkat histeris.
“Ya, Tuhaan! Naylaa! Di mana kamu, Nak?” Mama Nayla lalu pingsan. Semua menjadi panik. Eriska ikut sedih. Ia teringat Nayla. Ia juga teringat mamanya.
Tangerang, 1 Oktober 2013
Karya ini diikut sertakan dalam https://www.facebook.com/notes/fiksiana-community/ffa-festival-fiksi-anak-di-dar-mizan-kompasiana/523439427739423
Untuk melihat karya-karya sahabat fiksiana yang lain, sila menuju
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/ffa-inilah-perhelatan-dan-hasil-karya-peserta-festival-fiksi-anak-di-kompasiana-599896.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI