Eriska terdiam. Kali ini ia betul-betul kecewa. Keinginannya kandas. Sang Mama juga terdiam. Jauh di dalam hati, Mama sebetulnya merasa kasihan karena tahu Eriska pasti kecewa. Tetapi, ia tidak ingin putri cantik semata wayangnya itu melampaui batas-batas yang telah ia tentukan bersama suaminya.
Di dalam kelas, kekecewaan Eriska ternyata berlanjut. Gairahnya untuk mengikuti pelajaran tak sebesar hari-hari sebelumnya. Saat jam istirahat, Eriska memilih tetap berdiam di dalam kelas. Saat itu Nayla mendatanginya.
“Eris, kamu lagi sedih, ya?” Tanya Nayla.
“Nggak. Nggak, kenapa-kenapa. Aku hanya sedang malas saja,” jawab Eriska sekenanya.
“Kamu habis dimarahi, ya?”
“Nggak. Sudah, ah, aku sedang tidak mau ngomongin soal-soal yang kayak gitu. Eh, Nayla kamu bawa smartphone-mu?”
“Bawa. Tapi, aku malas mengeluarkannya. Masih ada dia tuh,” kata Nayla sambil matanya mengarah ke pintu tempat di mana ketua kelas Royke sedang berdiri membelakangi mereka. Nayla ingin memberitahu Eriska bila ia khawatir Royke akan mengadukan perbuatannya yang membawa gadget kepada wali kelas.
“Kita ke kantin saja, yuk,” ajak Nayla.
“Aku bawa bekal, Nay.”
“Yaa, padahal aku ingin ajak kamu ngobrol di kantin. Kamu ingat Ferdinand, kan, Ris? Anak SMA Buana yang aku kenal melalui facebook? Kemarin, dia mengajakku ketemuan di taman kota nanti sore,” ungkap Nayla sambil tersenyum senang.
“Hah? Terus kamu mau?”