Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Santet #20 | (Serangan) Tuyul di Siang Bolong

2 Januari 2014   19:39 Diperbarui: 15 Juni 2018   09:54 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2 Januari 2006. Jam di kantor di bilangan Pisangan Lama, Jakarta Timur, menunjukkan pukul 13.30.

“Papa, cepat pulang. Ada tuyul di rumah.” Itu suara anak saya melalui telepon, perempuan, ketika itu di kelas 3 SMP.

Apa? Tuyul?

Saya meminta Pak Haji, tetangga di bilangan RW10 Kel Pisangan Timur, Jakarta Timur, untuk melihat anak saya di rumah.

“Ya, Bapak cepat pulang.” Ini suara Oneng, pembantu di rumah yang juga ikut menelepon saya.

Lima menit kemudian saya telepon Pak Haji. “Tidak ada apa-apa, Pak,” kata Pak Hanya.

Saya pun lega dan melanjutkan pekerjaan.

“Aduh, Papa pulang. Sekarang.” Anak saya menelepon lagi.

Saya pun bergegas ke rumah.

Anak saya dan dua pembantu, Oneng dan Minah (dua-duanya dari Kab Pandeglang, Banten), sudah menangis di depan rumah.

Sebagian tetangga dan orang-orang lewat mencibir dan mengejek karena mereka tidak percaya ada tuyul, apalagi di siang hari bolong.

“Awas, Pak,” kata Oneng sambil menarik tangan saya.

Ada apa?

Rupanya, Oneng bisa melihat sala satu dari tiga tuyul yang mengejar-ngejar anak saya dan dua pembantu itu. Salah satu tuyul mlelilitkan ular warna kuning di lehernya.

Menurut Oneng ular itu hendak mematok saya. Itulah sebabnya dia menarik tangan saya.

Syukurlah, ada tetangga yang membantu dengan mantera-mantera, sedangkan yang lain menonton tanpa reaksi.

Saya telepon Pak Misbah di Banten. Di rumah ada garam yang dipakai, al. untuk mengusir makhluk halus.

Pak Misbah mencoba menghalau tuyul. “Pak, segera bawa mereka (maksudnya anak saya dan dua pembantu-pen.) ke sini,” kata Pak Misbah.

Rumah saya kunci dan anak saya dan dua pembantu saya bawa ke kantor dalam kodisi pucat-pasi dan gemetaran. Kunci saya titip di tetangga.

Anak saya tidak bisa melihat tuyul-tuyul itu, tapi dia merasakan tuyul-tuyul itu dekat dengan badannya.

“Huh,” kata anak saya sambil menarik napas dan mengangkat bahu setiap kali dia merasa tuyul dekat denga badannya.

Pukul 16.00 anak saya, Oneng dan Minah saya bawa ke rumah Pak Misbah di Cilegon, Banten.

Ternyata mereka bertiga sudah dirasuki tuyul. Sasaran utama saya, tapi anak-anak itu jadi sasaran antara.

Setelah ditangai Pak Misbah anak-anak bisa tidur pulas. Pagi hari kami kembali ke Jakarta. Anak saya tidak bisa bersekolah hari itu.

Persoalan baru muncul karena alasan ke Banten untuk ‘berobat’ tidak diterima sekolah. Absen.

Tuyul-tuyul itu sengaja ditempatkan di rumah sebagai ‘terminal’ yang dijadikan orang memelihara pesugihan berupa ‘buto ijo’ dan ‘nyupang’

[Baca juga: Serial Santet #15 | Astaga, Kok Ada Monyet di Tempat Tidur.…]

Hal itu sudah lama yaitu sejak ada ‘ustad’ yang dibawa keluarga orang rumah dari Kota “S” di Jabar. Disebutkan Pak Ustad itu akan memasang pagar. Karena dipasang oleh ustad saya tidak menaruh curiga.

Tapi, setelah saya ‘berobat’ ke beberapa orang pintar di Banten, Tasikmalaya dan Banjar barulah saya paham bahwa ‘pagar’ yang dimaksud Pak Ustad itu adalah benda-benda terkait dengan santet.

Salah satu dari ‘pagar’ saya bongkar (1996). Dibalut dengan kain putih (ini adaah kain kafan mayat yang mati bunuh diri) berisi gabah, telur ayam, paku, beling, rambut, dll.). Bersamaan dengan itu diinapkan pula tiga tuyul di rumah (dua laki-laki dan satu perempuan).

Semula saya tidak mempesoalkan ‘pagar’ itu karena saya tidak pernah berpikir terkait dengan santet.

Tapi, setelah berobat ke orang pintar baru saya paham tentang arti dari ‘pagar’ itu yang ternyata merupakan terminal untuk memasukkan benda-benda ke badan saya dan anak saya.

Selain membawa penyakit, membuat hawa panas di rumah, tuyul-tuyul itu pun menjadi perantara untuk mencuri uang.

Banyak orang, al. mantan Ketua RW di lingkungan rumah, mengatakan bahwa rumah saya itu pengap, gelap, dll. Saya lagi-lagi tidak pernah berpikir ke hal-hal gaib.

Setelah kejadian tuyul yang menyerang anak saya, Oneng dan Minah barulah saya memahami ‘skenario’ untuk mencelakai saya dan anak saya yang mereka jadikan sebagai tumbal agar pesugihan mereka terus langgeng.

Belakangan, tuyul dan setan yang ‘diindekoskan’ di rumah ditangkap oleh Pak Dadang, salah satu yang membantu saya

[Baca juga: Serial Santet #19 | Setan dan Tuyul "Diindekoskan" di Rumah]

Tentu saja cerita saya ini akan dianggap oleh banyak orang sebagai kebodohan. Tapi, biarlah. Saya hanya berserah diri kepada YMK.

Orang boleh mengejek, menghina dan mencibir karena mereka tidak pernah merasakan betapa sakit jika jadi korban santet.

[Baca juga: Serial Santet #17 | Derita Lahir Batin Korban Santet]

Saya yakin orang-orang yang menghina, mencibir dan mengejek korban santet akan merasakan penderitaan yang lebih berat dari saya: moral dan materi hancur berantakan.

Semoga orang-orang yang mencibir, mengejek dan menghina saya dibalas-Nya dengan kebaikan untuk diri saya dan anak saya serta bagi Oneng dan Minah (mereka tidak ikut saya lagi). ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun