Ngeri mendengar kritik atas kebijakan Presiden Jokowi ingin mendirikan Ibukota Negara (IKN) Nusantara, di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, secara bertahap mulai thn 2022 - 2045.
Harapan Presiden Jokowi ingin acara Agustus-an 2024 di sana, banyak dicibir. Pelbagai diskusi di youtube hingga teve, begitu mengharu-biru. Mengikuti kanal yutub Prof. Refly Harun, mentertawakan betapa bodoh keputusan membuat IKN Nusantara, sungguh bikin saya sesak nafas.
Sayangnya, suara pendukung IKN Nusantara saat debat di televisi, seperti oleh Kepala Bappenas, Ketua Pansus UU IKN di DPR, dan jubir Kantor Staf Presiden, sepertinya tak memuaskan dan kalah kencang.
Tak cuma debat panas. Di dunia maya, laman change.org muncul petisi ke Pak Jokowi, penghentian rencana IKN.
Petisi online ini diluncurkan Narasi Institute, diinisiasi  45 tokoh dari cerdik cendikia, agamawan, mantan petinggi militer, hingga ekonom ternama.
Pertanggal 8/2/2022, sudah sekitar 14.000 penandatangan setuju usul penghentian rencana IKN ini.
'Serangan darat' juga mengepung IKN Nusantara, lewat ajuan uji judicial review UU IKN dari aspek formil ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah tokoh kritis dan oposisi berdiri di belakangnya. Kabarnya, setelah aspek formil penyusunan UU IKN, mereka akan memasukkan uji judicial review lagi dari aspek substansi.
Kalau didaftar, ada puluhan mungkin ratusan argumen, dari yang kuat beralasan hingga yang ngawur, Â dan kalau tidak legowo bisa bikin sakit kepala. Antara lain,
- Survei Kedai Kopi, 61,9 % responden menolak ibukota baru
- Naskah Akademik IKN lebih rendah mutunya dari skripsi S-1 Â
- Penyusunan UU IKN dikebut DPR secara terburu-buru selama 42 hari pembahasan, minim keterbukaan dan partisipasi publik, hanya mengundang pakar yang setuju dan tak mendengarkan yang kontra
- Ini ambisi pribadi pak Jokowi ingin membuat legacy (warisan) kepemimpinan
- Karena legacy, maka pak Jokowi akan membuat IKN harga mati, pokoknya harus jadi
- Moment waktu tidak tepat, tidak urgensi, kondisi rakyat masih sulit, masih banyak prioritas lain, terutama penanganan Covid 19-Omicron yang terus meningkat, pengentasan kemiskinan, mengatasi pengangguran, peningkatan pendidikan, dan kesejahteraan di berbagai sektor
- Rakyat Indonesia belum dimintai persetujuan, perlu referendum
- Masyarakat Adat Kalimantan kebanyakan tak tahu proyek ini, resah kuatir kebun dan tanah adat akan dicaplok oleh IKN, Â sehingga akan terpinggirkan, menganggur, bagaimana anak cucu kelak
- Diprediksi aka ada gesekan budaya-sosial dengan penduduk asli Kalimantan, akan terjadi segregasi sosial
- Masalah ekologi kerusakan lingkungan, penggundulan hutan, kerusakan habitat fauna-flora terganggu, hutan mangrove rusak/tergusur, nelayan gak boleh melaut, kesulitan pasokan air bersih, minim suplai listrik
- Utang Indonesia hampir Rp 7.000 triliun, defisit APBN lebih 3%, dan cicilan utang pertahun mencapai Rp 400 triliun, masak mau utang lagi?
- DI APBN 2021, tidak ada mata anggaran pembangunan IKN, dan tak boleh pakai anggaran  Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), karena peruntukannya untuk penanganan Covid-19
- Tidak percaya hanya perlu sedikit dana APBN, contoh Kereta Cepat Bandung-Jkt yang semula janji tak pakai APBN akhirnya disuntik dana APBN agar tidak mangkrak
- Akan membebani APBN, anggaran awal Rp 500 triliun bisa bengkak menjadi Rp 1.500 triliun
- Karena lokasi IKN juga kebanjiran, toh sama dengan Jakarta, kenapa pindah, kan lebih baik mengatasi banjir Jakarta
- Akan jadi kota hantu, karena orang tak mau tinggal di sana, lantaran tidak ada fasilitas pendukung
- Tidak mungkin memindahkan 5 juta penduduk ke IKN Nusantara, butuh waktu puluhan tahun
- IKN di Penajam Paser Utara ini wilayah tempat jin buang anak, yang mau tinggal di situ genderuwo dan kuntilanak, serta hanya monyet
- Diperkirakan mangkrak, karena ekonomi menurun dan tidak ada duit untuk meneruskannya
- Presiden berikut tak sevisi dengan Pak Jokowi, IKN berpeluang dibatalkan dan jadi mangkrak
- Ekonom Rizal Ramli bilang, andai terpilih jadi presiden akan mencabut UU IKN
- Lemah dari segi pertahanan-keamanan, IKN rentan diserang musuh dari laut dan udara
- Menguntungkan pengusaha HPH di sana, karena lahannya akan dibeli pemerintah, diantaranya ada lahan Luhut Binsar Panjaitan dan Prabowo Subianto
- Menguntungkan pengusaha batubara (konon ada 73.584 hektar), karena jadi tidak wajib mereklamasi lubang galian yang ditinggalkan Â
- Menguntungkan pengusaha tertentu yang mendapat proyek, seperti perusahaan milik Hasyim Djojohadikusumo, kakak Prabowo Subianto, yang mendapat proyek air bersih
- Ini untuk kepentingan oligarki kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat
- Ini akan jadi bancakan proyek bagi-bagi rejeki, antara oligarki kekuasaan dan pengusaha, ditengarai akan ada korupsi
- Jakarta kota penuh sejarah, termasuk sejarah proklamasi, jangan pernah kepikiran meninggalkan Jakarta
- Jokowi terlalu ambisius dan tak masuk akal bikin istana dan pada Agustus 2024 bikin upacara Proklamasi di sana, waktunya kan sempit hanya 2,5 tahun
- Tak jelas sumber dana pembangunan, jika mengandalkan dari menjual kantor pemerintah di Jakarta, sementara investor asing tidak jelas
- Banyak perpindahan ibukota baru yang berakhir gagal, hati-hati, karena tidak mudah
- Letak ibukota baru idealnya 1,5 jam bermobil dari Jakarta, terlalu jauh akan repot mobilisasi, sehingga akan gagal seperti Brazilia
- Ini bukan pemerataan pembangunan ekonomi, sebab yang pindah hanya administrasi pemerintahan saja, tidak ada pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi di sana
- Ibukota baru ini adalah program partai PKI sejak tahun 1955, dan akan jadi kebangkitan PKI di Indonesia
- Ibukota baru ini akan didanai negeri Cina, dan akan ditempati oleh warga asing asal Cina, walhasil akan menjadi Beijing Baru, bukan untuk warga Indonesia
- Dampak terhadap properti di Jakarta, harga akan jatuh, cepat lah menjual sebelum harga jatuh
- Apalagi saat ini kasus harian Omicron melonjak, dan PPKM level 3 wilayah Jawa dan Bali baru saja ditetapkan
Daftar argument ini masih bisa bertambah, lho.
Luar biasa ya, kejelian menemukan argumen potensi kegagalan Ibukota Baru Nusantara.
Apakah ini memang menunjukkan kecerdasan memikirkan sesuatu masalah? Â
Kebayang, menjadi pak Jokowi pasti pusing kepala kalau harus menyanggah argumen di atas.
Pak Jokowi, Tolong Tetaplah Pegang Kemudi Â
Bagaimana rasanya, jika menjadi nahkoda tapi arah pilihan kompas-nya dihujat oleh para awak dan penumpang kapal?
Sejumlah kebijakan Jokowi, memang nyeleneh (out of the box) dan tidak popular.
Tol Jawa, Trans Sumatera, Trans Kalimantan, tol laut, jalan perbatasan, pelabuhan, bandara, kebijakan BBM 1 harga, tax amnesti, omnibus law UU Cipta Kerja, destinasi wisata Bali Baru, merangkul lawan politiknya yaitu Prabowo dan Sandiaga Uno masuk kabinet, dsb.
Terbukti belum ada satu pun yang proyek yang mangkrak karena salah urus.
Saya berdoa, semoga pak Jokowi tak kehilangan kemudi, meski pun sebagai nahkoda bangsa, kebijakannya sekali lagi kali ini amat keras ditentang.
Bagaimana ya, menyampaikan bahwa membangun ibukota baru adalah sesuatu keniscayaan, yang entah sekarang ataupun di waktu mendatang, pasti akan dilakukan, sebab menjadi kebutuhan bagi Indonesia yang begini luas untuk membangun keseimbangan baru, paradigm pembangunan baru bagi  negeri yang begitu luas, yang bukan cuma Jawa apalagi Jakarta.
Mustahil kalau orang-orang pintar pengkritik (yang kebanyakan warga Jakarta, ya kan?) belum pernah berkunjung ke tempat lain di pulau-pulau lain di Indonesia, entah berwisata, mengunjungi keluarga, atau tugas pekerjaan. Apakah mereka tidak melihat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang begitu besar, antara Jakarta dan daerah?
Apakah mereka tidak melihat begitu banyak tempat yang masih miskin dan terlantar karena pemimpin daerah tidak mampu mengembangkan wilayahnya?
Apakah mereka tidak melihat begitu banyak kerusakan alam dan bencana hidrometerologi karena ulah keserakahan orang dan pejabat?
Jangan melulu keenakan di Jakarta.
Warga ibukota Jakarta dan kota sekitar nya, sudah terlalu nyaman dengan berbagai fasilitas. Jalan mulus, jalan tol banyak, mau kemana saja gampang. Harga barang dan pangan, stabil, murah, dan mudah dibeli, tidak pernah langka.
Pasar ada di mana-mana, pasar basah sampai mal modern. Listrik rumah tidak byar-pet, puskesmas dan rumah sakit banyak, pelayanan kesehatan baik, BPJS terlayani. Gedung sekolah bagus, jumlah cukup, Â dan gratis. Ada tempat hiburan di berbagai sudut kota. Pekerjaan bergaji mahal juga ada.
Jabodetabek adalah kota yang lengkap, nyaman, aman. Saya tinggal di Depok, dan menikmati  kenyamanan itu, dengan fasilitas KRL murah, akses tol, harga pangan stabil, dan tak pernah antre kelangkaan.
Memang benar, di Jakarta yang masih ada warga mukim di tempat kumuh, gang sempit, bawah tol, dan  bantaran Ciliwung.  Mereka ini khas kaum urbanisasi yang belum terkelola sehingga menjadi tetap sebagai spot kemiskinan di beberapa titik Jakarta. Tapi, itu tidak mengubah citra Jakarta sebagai metropolitan yang megah.
Pertanyaannya, apakah kita tak perlu menumbuhkan Jakarta-Jakarta maju lain di seluruh Indonesia?
Saya menilai, dasar pikir para pengkritisi ini lebih didorong oleh kelekatan kenikmatan akan kota metropolis Jakarta, yang lekat tertanam secara historis maupun kultural sebagai ibukota .
Melepaskan diri dari Jakarta, seperti kehilangan pegangan, semacam keragu-raguan yang menakutkan.
Apakah itu semacam self-sentris, atau Jakarta-sentris?
Kenapa kita tidak ingin atau berani berbagi dengan suku-suku lain di luar Jakarta-Jawa, yang juga ingin mengenyam cita-cita Indonesia merdeka? Yaitu, keadilan sosial berupa kesejahteraan ekonomi dan kenyamanan buah pembangunan.
Rasa kecintaan pada Ibukota Jakarta, tampaknya menghalangi kita untuk berbagi kebahagiaan bagi masyarakat Indonesia di daerah-daerah lain, agar merasakan kemajuan seperti Jakarta, dan terlepas dari ketertinggalan.
Dengan asumsi ini, saya berharap pak Jokowi tetaplah pegang kontrol kemudi, dan arahkan perahu bangsa ini tetap lurus dengan niat membangun IKN Nusantara, ya.
Inikah Puncak Revolusi Mental Bangsa? Â
Perdebatan tentang ibukota Negara Nusantara ini, tampaknya akan menjadi garis batas, antara pemikiran keIndonesian tradisional, dengan pemikiran kebangsaan modern.
Presiden Abdurrahman Wahid telah mencanangkan wawasan Nusantara, bahwa Indonesia adalah negeri maritim kepulauan, bukanlah negeri dengan pendekatan agraris. Kita telah terlalu lama membelakangi lautan, saatnya menjadikan laut sebagai muka depan, bukan halaman belakang, begitu kata Gus Dur.
Dan kini Presiden Jokowi coba meningkatkan pemikiran wawasan Nusantara - Gus Dur itu, dengan mengubah pendekatan Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris, dengan melengkapi konektivitas antara wilayah, dengan membangun infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara, serentak di seluruh Indonesia, serta memulainya berfokus dari daerah luar Jawa, Indonesia Timur, dan perbatasan.
Jelas, kini Indonesia keluar dari paradigma bangsa pertanian, insan yang self-center (meminjam istilah Prof. Rhenald Kasali), yang berfikir terpusat pada dirinya (Jakarta-Jawa).
Menjadi paradigma bangsa modern yang maju dan berpusat pada Indonesia sebagai wawasan Nusantara. Yaitu, bangsa yang berfikiran terbuka, tidak sempit fikir, chauvinistic-kedaerahan, mudah menerima perubahan, tidak selfish, tidak self-center, tidak baperan, berfikir kreatif, berfikir out of the box, berani keluar dari zona nyaman, dan punya terobosan atau mimpi besar.
Ini akan menjadi titik tolak perubahan pola pikir bangsa, sebuah revolusi mental bangsa.
Jika Jokowi kokoh, dan keputusan Mahkamah Konstitusi menggugurkan gugatan penolak UU IKN, maka ini akan menjadi titik tolak bahwa Indonesia bisa berangkat menjadi bangsa maju di tahun emas 2045.
Pak Jokowi, yang orang Solo, di titik pusat pulau Jawa, kok tidak Jawa-sentris, malahan bisa berfikir Indonesia-sentris.
Sementara banyak tokoh intelek negeri yang mengenyam pendidikan tinggi, bahkan sampai ke mancanegara, kok masih berfikir Jawa-sentris. Apa ada yang salah ya?
Pak Jokowi, tolong tetaplah pegang kemudi pendirian Ibukota Negara Nusantara, jangan goyah.Â
Ini sekaligus menjawab keraguan masyarakat yang mengajukan petisi penghentian IKN Nusantara.
Bila perlu, sekali lagi Pak Jokowi dapat berbicara, menjelaskan mengapa kita perlu Ibukota Baru Nusantara saat ini, bukan nanti.
lihat juga tulisan saya sebelumnya - Mengapa Saya Ingin Ibukota Indonesia Baru?
/Indrawan Miga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H