Â
Ketika mendengar kata China, atau Tiongkok, maka seketika saya membayangkan seekor naga yang besar. Naga yang amat digdaya. Naga yang ketika mendengus saja sudah membuat siapapun di sekitarnya langsung waspada.
Â
China, naga raksasa itu, belakangan membuat negara di sekitarnya tak hanya waspada, tapi juga kesal, marah. Yakni ketika pada 28 Agustus 2023, Kementerian Sumber Daya Alam China merilis "China Standard Map Edition 2023".
Â
Peta baru itu memuat ten-dash line atau sepuluh garis putus-putus berbentuk "U" yang mencakup 90 persen wilayah Laut China Selatan. Menabrak batas wilayah negara-negara di kawasan tersebut, meliputi Indonesia, Vietnam, Malaysia, Filipina, hingga Taiwan. Memperburuk konflik yang telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun.
Â
Indonesia, tentu saja menolak klaim ten-dash line China. Meski begitu, pemerintah "memprioritaskan diplomasi damai" untuk menyelesaikan konflik.
Â
Cukupkah itu?
Â
**
Â
Â
Ada "Surga" di Laut China Selatan
Â
China seperti kita tahu menjadi salah satu peradaban tertua di dunia dengan usia lebih dari 5.000 tahun. Selama ribuan tahun, China menjadi negara monarki. Diawali oleh Dinasti Xia (2070-1600 SM) dan diakhiri oleh Dinasti Qing (1912).
Â
Sebelum digulingkan oleh Revolusi China, Dinasti Qing menjadi salah satu dinasti terkuat yang pernah ada di China. Selama berkuasa, Dinasti Qing menguasai teritori seluas 14,7 juta kilometer persegi. Itu membuat Dinasti Qing menjadi kerajaan dengan luas wilayah terbesar nomor empat sepanjang sejarah umat manusia.
Â
Tak lama setelah berakhirnya era dinasti, Republik China pun berdiri. Tepatnya pada 1 Januari 1912, di mana Sun Yat Sen menjadi presiden pertamanya. Di tahun yang sama, Sun Yat Sen mendirikan Partai Nasionalis Kuomintang.
Â
Sepeninggal Sun Yat Sen di tahun 1925, kepemimpinan Kuomintang beralih kepada Jenderal Chiang Kai-Shek. Berbeda dari pendahulunya, Chiang Kai-Shek adalah tipikal pemimpin bertangan besi. Bahkan, oleh lawan politiknya, Chiang Kai-Shek dipandang sebagai "diktator yang brutal"
Â
Pada 1947, Chiang Kai-Shek mengejutkan dunia ketika dia mempublikasikan peta Republik China dengan eleven-dash line atau sebelas garis putus-putus. Peta itu mencakup Kepulauan Nansha (Spratly) dan Kepulauan Xisha (Paracel) yang diperebutkan oleh sejumlah negara.
Â
Menurut catatan sejarah, Chiang Kai-Shek sendirilah yang menggambar peta China dengan eleven dash line. Dia banyak berpatokan pada sejarah China, termasuk peta ketika Dinasti Qing berkuasa.
Â
Namun, sama halnya dengan dinasti, kekuasaan Chiang Kai-Shek di China juga harus berakhir. Tragisnya, itu berakhir dengan cara yang sama. Chiang Kai-Shek digulingkan oleh Mao Zedong, Pemimpin Partai Komunis China.
Â
Terdesak oleh Partai Komunis China, Chiang Kai-Shek membawa gerbong Kuomintang ke Pulau Formosa. Di pulau itu, Chiang Kai-Sek mendirikan lagi pemerintahan Republik China yang saat ini dikenal sebagai Taiwan.
Â
Sementara itu, Mao Zedong kemudian memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949. Mao, bersama Partai Komunisnya membawa sejumlah perubahan bagi China, termasuk soal garis batas wilayah.
Â
Pada tahun yang sama, Partai Komunis China merevisi peta negara. Dari yang awalnya memuat eleven-dash line menjadi nine-dash line. Dua garis yang "dibuang" dari peta adalah Teluk Tonkin yang masuk teritori Vietnam.
Â
Nine-dash line menjadi versi yang dipegang China (Republik Rakyat China) selama berpuluh-puluh tahun. Memicu konflik dengan negara-negara lain yang wilayahnya diklaim China.
Â
Salah satu konflik serius terjadi di Kepulauan Spratly pada 14 Maret 1988. Dikenal pula sebagai Pertempuran Karang Johnson Selatan yang melibatkan dua negara, China dan Vietnam.
Â
Pertempuran itu merupakan titik puncak dari konflik yang terjadi selama bertahun-tahun sejak China mengklaim kawasan tersebut. Sementara Vietnam merasa Spratly adalah bagian dari wilayahnya.
Â
Dalam pertempuran kali ini, Vietnam kalah telak. Lebih dari 60 tentara mereka terbunuh, dan tiga kapal ditenggelamkan oleh militer China.
Â
Pertempuran Karang Johnson Selatan dan pertempuran-pertempuran lain yang skalanya lebih kecil menimbulkan satu pertanyaan besar: apa istimewanya Laut China Selatan? Mengapa banyak negara mati-matian memperebutkannya? Bahkan, konflik juga turut menyedot negara adidaya lainnya, Amerika Serikat.
Â
Pertama, Laut China Selatan merupakan salah satu jalur perdagangan penting di dunia. Sepanjang 2023 saja, tercatat ada 10 miliar barel minyak dunia dan 6,7 triliun kaki kubik Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair yang terdistribusi melalui Laut China Selatan.
Kedua, Laut China Selatan diperebutkan karena memiliki potensi alam yang luar biasa. Seperti dilansir US Energy Information Administration, cadangan minyak di Laut China Selatan diperkirakan mencapai lebih dari 3,6 miliar barrel. Sementara LNG-nya diperkirakan lebih dari 40 triliun kaki kubik.
Â
Jangan lupa, Laut China Selatan menjadi kawasan dengan ikan yang melimpah dengan produksi lebih dari 13 juta ton per tahun. Itu setara dengan tingkat konsumsi gabungan negara Uni Eropa.
Â
Bara di Natuna
Â
Seperti disinggung di atas, Indonesia juga turut tersedot ke dalam pusaran sengketa Laut China Selatan. Konfliknya memang tidak sampai seserius apa yang terjadi di Spratly, tapi sekecil apapun itu tetap harus dianggap sebagai masalah serius.
Â
Nine-dash line maupun ten-dash line yang dirilis oleh China, seperti diketahui juga turut menerobos garis wilayah Indonesia. Terutama di Kepulauan Natuna.
Â
Natuna, yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau sejatinya tidak hanya jadi rebutan antara Indonesia dengan China. Pemerintah Malaysia sempat menyatakan bahwa Natuna seharusnya menjadi milik mereka. Namun sejak akhir 60-an, demi menghindari konflik, Malaysia tidak lagi menggugat status Natuna.
Â
Alhasil, sengketa Natuna kini mengerucut pada dua negara, Indonesia dengan China. Situasi di kawasan itu pun kerap memanas dalam beberapa tahun terakhir.
Â
Pada 17 Juni 2016, KRI Imam Bonjol melakukan pengejaran terhadap 12 kapal nelayan China. Kapal-kapal itu diketahui memasuki perairan Zona Ekonomi Eksklusif di Natuna Utara.
Â
KRI Imam Bonjol bahkan sampai harus melepaskan tembakan di udara, serta menahan satu kapal nelayan.
Â
Kenapa kapal-kapal nelayan itu masuk begitu jauh ke dalam wilayah laut Indonesia?
Â
Pertama, mereka mengaku bahwa Natuna Utara merupakan daerah penangkapan ikan milik China. Aktivitas penangkapan ikan sudah dilakukan "sejak dulu".
Â
Kedua, kapal-kapal nelayan itu berani masuk wilayah Indonesia karena mendapatkan pengawalan dari kapal coast guard China. Â
Â
Ulah China itu pun segera direspon oleh Pemerintah Indonesia. Pada 23 Juni 2016, Presiden Joko Widodo menggelar rapat kabinet terbatas di KRI Imam Bonjol, di perairan Natuna.
Â
Lewat agenda itu, Presiden Jokowi seolah mengirim sinyal kepada China. Bahwa Indonesia tidak akan membiarkan China mengklaim wilayah laut Indonesia.
Â
Sayangnya, sinyal itu diacuhkan oleh China. Sebab beberapa kali setelahnya, kapal-kapal nelayan China masih saja melakukan pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.
Â
Upaya mencegah pencurian ikan oleh kapal-kapal asing itu jelas bukan hal mudah. Armada laut yang dimiliki tidak sebanding dengan wilayah yang harus di-cover.
Â
Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang bertanggungjawab atas keamanan di wilayah laut Indonesia hanya memiliki 10 kapal. Itu pun harus disebar ke tiga zona: barat, tengah, timur.
Â
Kepala Bakamla, Laksdya TNI Dr. Irvansyah, S.H., M.Tr.Opsla, menyebut bahwa untuk menjaga tiga zona itu, Indonesia setidaknya butuh 90 kapal.
Â
Simalakama Menghadapi China
Â
Tanpa bermaksud mengesampingkan negara lain, musuh utama Indonesia dalam menjaga kedaulatan perairan adalah China.
Â
Tapi, menghadapi China membuat Indonesia berada dalam posisi dilematis. Sebab, meski konflik selalu ada, Indonesia memiliki "hubungan yang baik" dengan China. Bahkan, hubungan itu, terutama dalam bidang perdagangan, bahkan telah terjalin selama berabad-abad lamanya.
Â
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) RI, sepanjang 2023, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 64,94 miliar USD. Itu mencakup 25,09 persen dari total ekspor Indonesia. Hampir tiga kali lipat dari nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.
Â
Pun sebaliknya, Indonesia juga menjadi pasar strategis bagi produk China. Sepanjang 2023, nilai impor dari China mencapai 62,18 miliar USD.
Â
Belum lagi kalau kita bicara soal investasi, hingga pasar tenaga kerja.
Â
Artinya, membuka konfrontasi dengan China bukanlah pilihan bijak. Apalagi, kita semua tahu, kekuatan militer China ibarat naga besar bagi Indonesia yang burung kecil.
Â
Namun di sisi lain, Indonesia juga tidak boleh membiarkan harga dirinya diinjak-injak dengan menutup mata atas masuknya kapal-kapal asing, terutama dari China, tanpa izin.
Â
Harus Bagaimana?
Â
Sengketa Laut China Selatan harusnya selesai begitu Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan keputusan pada 2016 lalu. Mahkamah Arbitrase menyatakan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah yang mereka masukkan dalam nine-dash line.
Â
Sebab, China tidak bisa membuktikan klaim mereka dengan bukti-bukti sejarah yang kuat.
Â
Namun, China ternyata mengabaikan keputusan Mahkamah Arbitrase. China masih saja melakukan pelanggaran kedaulatan atas negara-negara lain di kawasan Laut China Selatan.
Â
Sementara itu, di sisi lain, keputusan Mahkamah Arbitrase tersebut menjadi dasar bagi Amerika Serikat untuk memainkan perannya sebagai "polisi dunia" di kawasan Laut China Selatan.
Â
Beberapa kali, Amerika Serikat seolah mengirim sinyal kepada China bahwa mereka siap untuk ikut terlibat lebih jauh dalam sengketa di Laut China Selatan.
Â
Pada Januari 2022 misalnya, dua kapal induk Amerika Serikat, USS Car Vinson dan USS Abraham Lincoln memasuki wilayah Laut China Selatan. Pemerintah AS berdalih itu hanyalah latihan perang. Tapi apa yang dilakukan AS jelas tak membuat pemerintah China senang.
Â
Dengan kekuatan militernya, Indonesia bisa saja menggandeng AS untuk menebar psywar ke China. Tapi agaknya, pemerintah Indonesia tidak akan mengambil pilihan tersebut.
Â
Menggandeng AS bukannya menyelesaikan masalah, namun sebaliknya malah membuat itu semakin parah.
Â
Alih-alih melibatkan negara "asing", Indonesia ada baiknya mengambil inisiatif untuk menyatukan negara-negara ASEAN. Bukan dengan membentuk komunitas seperti yang selama ini sering dilakukan, namun lebih jauh: aliansi militer.
Â
Dulu, antara tahun 1954-1977 pernah terbentuk SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) yang beranggotakan delapan negara. Dua di antaranya negara ASEAN, yakni Thailand, Filipina, Australia, Perancis, Selandia Baru, Pakistan , Inggris, dan Amerika Serikat.
Â
Tapi kali ini, tidak usah mengajak negara-negara "barat". Cukup mengoptimalkan potensi negara ASEAN.
Â
Bersatunya kekuatan militer 10 negara setidaknya akan membuat China berpikir ribuan kali sebelum "membuat masalah".
Â
Bayangkan bila Aliansi ASEAN itu kompak. Bersatu untuk menjaga wilayah laut bersama-sama, atau rutin menggelar latihan gabungan.
Â
Dan ketika aliansi itu terbentuk, Indonesia harus mengambil peran. Tidak hanya menjadi pemimpin bagi negara-negara ASEAN, tapi juga menjadi jembatan dengan China.
Â
Bagaimanapun hubungan baik tetap harus dipertahankan, tapi China juga harus terus diingatkan agar tidak main-main dengan kedaulatan.
Â
**
Â
Sumber:
Analysis: China's new map a timed move to reassert its territorial claims, flex muscles ahead of regional summits - CNA (channelnewsasia.com)
Â
MAP Spotlight: Nine-Dash Line - ICAS (chinaus-icas.org)
China Klaim Natuna, Ini 8 Sikap RI (detik.com)
Â
Territorial Disputes in the South China Sea | Global Conflict Tracker (cfr.org)
Â
Taiwan's Delicate Balancing Act in the South China Sea | Global Taiwan Institute
Â
Imperial China's Dynasties (nationalgeographic.org)
Â
Sejarah China, dari Zaman Prasejarah, Dinasti, hingga Modern Halaman all - Kompas.com
Â
10 Kerajaan dengan Wilayah Kekuasaan Terluas Sepanjang Sejarah (katadata.co.id)
Â
Learning From the Battle of the Spratly Islands -- The Diplomat
Â
International - U.S. Energy Information Administration (EIA)
Â
Ada Harta Karun Apa yang Diperebutkan di Laut China Selatan? (cnbcindonesia.com)
Â
Timeline: China's Maritime Disputes (cfr.org)
Â
Ahli Pertahanan FISIP UI Bahas Posisi Indonesia dalam Konflik di Laut Natuna Utara - Universitas Indonesia
Â
Indonesia.go.id - Sengketa di Kawasan Laut Natuna Utara
Â
5 Daftar Negara Tujuan Ekspor Tertinggi 2023, China hingga Jepang Terbesar (bisnis.com)
Â
Ini Putusan Lengkap Mahkamah Arbitrase soal Laut China Selatan (detik.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H