“Inilah yang termasuk kami bahas tadi di sekolah. Kepala sekolah sangat tidak setuju jika siswa disuruh beli ini dan itu untuk menyelesaikan pelajarannya yang belum tuntas. Itu artinya sama saja memberi patokan harga pada mata pelajaran yang kita emban. Memberi harga kepada wibawa kita. Bukan begitu cara menjaga wibawa seorang guru. Membuat anak menjadi terbiasa dan meremehkan pelajaran kita. Membuat anak beranggapan, ah biarlah, bapak dan ibu bisa kita belikan ini dan itu, toh akhirnya nanti pelajaran kita tuntas. Ri, biaya pindah itu tidak murah. Jika ayahmu masih mau tanggung jawab atas sekolahmu itu enak. Sekarang apakah dia peduli?”
Ari menggeleng menerangkan.
“Kalu kamu bersedih atas apa yang diderita ibumu saat ini, cobalah cari hiburan yang bersifat tidak mengganggu sekolahmu untuk melupakannya. Nah lebih bagus lagi kalau kamu mengojek sepulang sekolah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harimu. Kalau ada lebihnya bisa kamu berikan ke ibumu. Kan kamu punya motor? Daripada keluyuran yang tidak jelas. Alangkah baiknya bila keluyuranmu menghasilkan uang untuk bantu ibumu. Rapat tadi memberikan satu hari kesempatan untukmu perbaikan. Jadi tolong manfaatkan itu. Tunjukkan pada guru-guru kalau kamu masih mau sekolah.”
Menjelang berbuka puasa. Percakapan kami selesaikan. Baru ada kepastian dari Ari bahwa ia benar-benar masih ingin tetap menyelesaikan sekolahnya. Itu cukup modal bagi Ardi untuk mengusahakannya di sekolah.
Pagi-pagi Ardi mencari Ari yang duduk termenung di kelasnya. Tergesa-gesa Ari menghampiri. Selang beberapa saat sebelumnya Ardi menjumpai wali kelasnya. Wali kelasnya menjelaskan bahwa remedialnya tersisa mata pelajararan produktif. Itu belum bisa diselesaikan karena Ari ada masalah dengan guru produktifnya. Salah satu guru, Anita, ikut membantu Ari, bahwa ia sudah mengkonfirmasikan kepada Pak Naspon, bahwa si Ari sudah dituntaskan untuk pelajaran Olahraga. Tak lupa Ardi mengucapkan terimakasih kepada Bu Anita dan Bu Vivi, wali kelasnya.
“Pak Adil,” panggil Ardi ke guru produktif Ari.”
‘Ya Pak.”
“Pak, si Ari itu memangnya tidak bisa dibantu lagi Pak?”
“Tidak bisa Pak.”
“Mengapa?” Tanya Ardi bernada sedikit meninggi.
“Itu sudah keputusan guru-guru bengkel,” jawabnya penuh wibawa. Penjelasan kepala sekolah saat beberapa hari lalu yang jangan sampai menyepelekan masalah keluarga murid, seolah tidak dipedulikannya. Idealis yang dijaga menghancurkan imbauan kepala sekolah. Padahal kepala sekolah telah mengatakan kita ini adalah guru. Kita harus membantu mereka sebisa mungkin. Selama mereka masih menunjukkan keinginan untuk bersekolah.