“Begini Yuk,” Ardi mencoba langsung ke inti, “Ari menjadi kandidat siswa yang tidak naik kelas!”
Muka Yanti tercenung sejenak. Terlihat ia mencoba meredakan emosi terhadap kelakuan anaknya. Belum lagi masalah keluarga yang ia alami. Suami yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga telah meninggalkannya demi seorang wanita lain yang berstatus pe-en-es. Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah tangga sampai membuahkan tiga putra. Memiliki rumah permanen. Meski tidak mewah tapi cukup mampu dipandangan masyarakat. Juga memiliki rumah bedeng empat pintu disewakan pada orang. Selain itu, suaminya dipercaya masyarakat untuk menjadi ketua RW tempat tinggalnya. Meninggalkan dirinya dan tiga putranya serta warganya
Begitu saja demi seorang yang berstatus pegawai negeri yang bekerja di sekolah tempat suaminya mendapatkan proyek bangunan.
Lelaki yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga meninggalkan mereka begitu saja. Sontak Yanti yang biasanya hanya mengurus rumah tangga, kini harus menjadi dua orang tua. Sebagai ibu yang mengurus rumah dan anak-anak, dan sebagai ayah yang mencari nafkah untuk memberi makan anak-anaknya.
Si sulung, Chandra, telah satu tahun tidak bekerja. Sempat sebentar ikut ayahnya untuk menjadi kuli bangunan, selepas lulus dari sekolah. Namun tidak tahan melihat ayahnya yang lebih mementingkan istri mudanya dan anak-anak barunya ketimbang dirinya, maka Chandra enggan ikut bekerja dengan ayahnya lagi.
Anak kedua, Ari, akan naik ke kelas tiga sekolah menengah. Saat ini telah menambah beban pikiran Yanti. Setelah beberapa saat berkabung karena diceraikan suami, kini ia harus menanggung derita atas berita ketidaknaikan kelas anaknya. Ia tidak mengerti mengapa anaknya yang kedua ini seperti ini, apakah ia juga ikut merasakan derita yang dialaminya, hingga keberantakan rumah tangganya menghantui remaja itu. Perceraian dengan suaminya telah membuat Ari linglung, bingung, hingga mencari hiburan lain untuk melupakan kesedihan ibunya. Pelarian yang ia buatlah, mungkin, berdampak buruk kepada sekolahnya.
Anak yang ketiga, Dudi, masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Belum mengerti dengan derita Yanti, yang mencoba menjajakan makanan kecil yang dibuat tetangganya ke sekolah-sekolah, kantor-kantor, pasar, toko, dan sebagainya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Jadi bagaimana Di?” tuturnya halus sembari mengelus air matanya.
“Nanti saya akan coba memperjuangkannya. Tapi tolong Ayuk dengan Ari ke rumah saya nanti sepulangnya Ari. Saya ingin memastikan apakah Ari masih benar-benar ingin sekolah, atau bagaimana? Saya takutnya nanti saya sudah capek-capek memperjuangkannya, malah si Ari sudah tak ada niatan untuk menyelsaikan sekolahnya. Sayang Yuk, tidak sampai satu tahun lagi dia ini di sekolah, bulan April seusai ujian nasional ia selesai. Jujur pribadi saya Yuk, sebetulnya saya tidak mau ambil pusing perkara siswa-siswa di sekolah, mau nakal kek, bolos kek, terserah, toh saya bukan bagian kesiswaan. Tetapi tadi setelah rapat kenaikan kelas, usai melihat nama anak Ayuk tercantum di daftar nama-nama yang tidak naik kelas, mendadak aku jadi gelisah. Karena dia ini masih terhitung keponakanku. Apalagi kudengar Ayuk menghidupi 3 anak dan rumah tangga sendirian.”
Yanti hanya mengangguk mendengarkan Ardi bercerita.
“Apakah aku harus mendiamkan saja anak Ayuk tidak naik kelas. Aku prihatin dengan perceraian ayuk dengan suami ayuk. Karena aku tak bisa berbuat apa-apa terhadap kehidupan keluarga ayuk. Tapi ini soal sudah bertambah ke anak Ayuk yang juga muridku. Apakah aku hanya berdiam diri saja melihat Ari dikeluarkan dari sekolah hanya karena alasan remedial enam mata pelajaran dan tidak masuk sekolah enam hari tanpa keterangan sepulang dia dari magang. Jika aku tidak mengusahakan si Ari supaya tetap bersekolah, seolah aku akan dipandang pecundang di keluarga Ayuk. Saya akan malu jika mendapat cacian di belakang. Masa punya om di sekolah, tidak bisa bantu kalau keponakannya bermasalah sampai tidak naik kelas di sekolahnya.”