"Kasih saya waktu sebulan (saya lupa, apa dua minggu)" kata Syamsul.
Ia bercerita hampir menangis. Tentu setelah puas memuji pencapaian saya di tanah air sebagai penulis paling produktif.Â
Ia bilang berpuasa. Semacam mati geni. Memusatkan pikiran. Sahabat saya yang lain, Luthfi Ihsana Nur dari Sastra Russia, menyebut sebagai lelaku Laduni. Atau entah apa.
"Tetapi, ada barter tertentu," jelas Luthfi. Aduh. Barter? Apa?
Iman saya ikut runtuh dengan seluruh irrasionalitas itu. Dalam dua semester awal di UI, saya "membunuh" ilmu berbahasa asing saya, setelah bertemu dengan Ajo Yun. Padahal, saya sedang asyik dengan mata kuliah Bahasa Jepang, Bahasa Perancis, Bahasa Belanda.
"Menguasai bahasa asing adalah kejahatan. Gua lulusan Sastra Inggris. Lindungi negara ini dengan aksara sendiri," ujar Ajo Yun.
Catatan harian yang saya tulis dalam bahasa Inggris segera berubah menjadi bahasa Indonesia. Ada banyak sekali lembar otentiknya.
Syamsul menggondol status lulusan terbaik Hosei University tahun 2003. Disertasinya terpilih sebagai karya terpilih majalah terkenal Forreign Affairs. Mahathir Mohammad menjadikannya sebagai "konsultan pribadi" dalam menangani krisis keuangan Malaysia. Syamsul memang 'mengejek' Anwar Ibrahim yang liberal, padahal berasal dari organ pemuda Islam paling radikal di dalam sejarah Malaysia moderen.
Syamsul meninggal dalam usia muda, Oktober 2014. Pada malam pimpinan DPR RI periode 2014-2019 diumumkan. Tentu saya "tahu" ledakan yang terjadi di kepala Syamsul. Kekecewaan.Â
Saya menangis. Meraung. Syamsul adalah dosen teladan di Jurusan Hubungan Internasional FISIP UI. Menutup diri. Sama seperti sahabat saya Azwar Zulkarnaen juga meninggal, diserang kangker ganas yang cepat berkembang. Azwar, aktivis mahasiswa paling berani asal Bandung. Tapi juga paling sederhana ketika hidup di pusaran lampu menggoda Jakarta.
Kabinet Kepala Empat