Mohon tunggu...
Indra Charismiadji
Indra Charismiadji Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati dan Praktisi Pendidikan 4.0 yang peduli dengan Pembangunan SDM Unggul

Indra Charismiadji adalah seorang pemerhati dan praktisi pendidikan dengan spesialisasi di Pembelajaran Abad 21 atau Edukasi 4.0. Wajah, suara dan pemikiran beliau kerap kali muncul di layer televisi nasional, radio, media cetak maupun media online membahas tentang isu dan kebijakan pendidikan. Berkat perjuangannya yang nyata dan tiada henti, di tahun 2018 yang lalu, Indra mendapatkan penghargaan “Anugerah Pendidikan Indonesia” dari Ikatan Guru Indonesia (IGI). Setelah menyelesaikan studi dari the University of Toledo, di kota Toledo negara bagian Ohio, Amerika Serikat dengan gelar ganda di bidang keuangan dan pemasaran untuk jenjang Strata 1, pria kelahiran Bandung tahun 1976 ini, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di Dana University, kota Ottawa Lake, negara bagian Michigan, Amerika Serikat. Dengan berbekal pengalaman bekerja di beberapa perusahaan tingkat dunia di Amerika Serikat seperti Merril Lynch, Omnicare, dan Dana Corporation, pada tahun 2002 Indra memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan berperan aktif dalam mengembangkan kualitas pendidikan di Indonesia dimulai dengan memperkenalkan CALL (Computer-Assisted Language Learning) atau pembelajaran bahasa berbasis teknologi komputer untuk pertama kalinya. Pengalaman bertahun-tahun di bidang teknologi pendidikan dan jejaring tingkat internasional membuat pemerintah Indonesia baik dilevel pusat maupun daerah menempatkan Indra sebagai konsultan khusus dalam bidang pengembangan Pembelajaran Abad 21. Saat ini Indra Charismiadji menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Developments Analysis. Dalam bidang organisasi, beliau juga berperan aktif sebagai Direktur Utusan Khusus Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia, Ketua Dewan Pembina di Asosiasi Guru TIK / KKPI Indonesia (AGTIFINDO), Dewan Pembina Ikatan Guru TIK PGRI, anggota kehormatan dari APACALL (Asia Pacific Association for Computer-Assisted Language Learning), dan anggota dari ISTE (International Society for Technology in Education). Keahliannya dalan teknologi pendidikan membuat beliau berulang kali diundang untuk menjadi narasumber pada konferensi, seminar, dan workshop baik di tingkat nasional maupun internasional. Secara khusus, saat ini Indra Charismiadji sedang mengembangkan pendidikan STEAM (Science, Tehnology, Engineering, Arts, and Mathematics), Higher Order Thinking Skills (HOTS), dan Computational Thinking.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ilusi Mutu Pendidikan, Bimbel, dan Komitmen Membangun SDM

18 Januari 2020   06:00 Diperbarui: 21 Januari 2020   18:34 4429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar 25 tahun yang lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi di Amerika Serikat. Untuk diterima menjadi mahasiswa di sana, salah satu persyaratannya adalah memiliki skor TOEFL (Test of English as a Foreign Language) sekurang-kurangnya 500. 

Sebagai upaya untuk memenuhi persyaratan tersebut, saya mendaftarkan diri pada sebuah di sebuah lembaga pendidikan bahasa Inggris yang memberikan pelayanan bimbel (bimbingan belajar) TOEFL. 

Model persiapan yang diberikan lembaga tersebut mayoritas dalam bentuk drilling, yaitu latihan mengerjakan soal TOEFL secara terus menerus, kemudian ada kalanya diajarkan trik-trik cara menerka jawaban terbaik dilihat dari konstruksi soal dan pilihan jawaban.

Setelah proses belajar secara intensif kurang lebih 90 menit setiap hari dari hari Senin hingga Kamis selama 10 minggu, akhirnya saya mengikuti tes TOEFL yang sesungguhnya. Skor TOEFL saya pada tes pertama tersebut 518, artinya saya langsung diterima di perguruan tinggi tersebut.

Pada hari pertama kuliah, akhirnya saya baru menyadari mengapa ada persyaratan skor TOEFL minimum 500. Saya tidak mengerti sama sekali terhadap apa yang dosen ajarkan, dan dosen pun tidak memahami apa yang saya katakan. 

IPK saya pada semester pertama kuliah hanya satu koma sekian, beruntung saya dapat mengejar ketertinggalan saya yang akhirnya lulus dengan predikat cum laude.

Pengalaman pribadi saya ini membuktikan bahwa kemampuan bahasa Inggris saya diatas kertas dianggap baik dan mampu mengikuti perkuliahan dalam bahasa Inggris, namun pada kenyataannya kemampuan bahasa Inggris saya jauh dibawah 500 pada skala TOEFL.  

UN bagaikan Timbangan Rusak

Kondisi Ujian Nasional (UN) saat ini tidak jauh berbeda dengan kejadian diatas. Alih-alih digunakan sebagai alat ukur kemampuan siswa dan kualitas pembelajaran, UN ternyata dapat dimanipulasi nilainya dengan berbagai cara.

Ada beberapa modus operandi dalam memanipulasi nilai UN, yang pertama adalah manipulasi positif, dimana manipulasi dilakukan tanpa melanggar aturan. 

Contohnya adalah menggunakan jasa bimbel (bimbingan belajar) untuk mendongkrak nilai UN persis seperti pengalaman pribadi saya dalam persiapan menghadapi TOEFL. 

Bimbel secara umum akan mendrilling siswa-siswanya dengan terus menerus mengerjakan soal-soal UN. Siswa juga diajarkan trik-trik untuk menerka jawaban terbaik dari bentuk soal dan pilihan jawaban.

Model persiapan tes seperti ini akan membantu siswa untuk mendapatkan nilai tinggi tetapi dengan siswa pada dasarnya tidak menguasai materi. 

Mereka hanya disiapkan untuk mendapatkan nilai yang tinggi dalam tes. Dan kini berdampak pada cara belajar siswa, siswa tidak lagi membaca buku melainkan membaca tes. 

Sebagai seorang praktisi pendidikan, konsep belajar seperti ini akan menjerumuskan anak karena mereka mendapatkan prestasi yang hanya sebatas kamuflase. Nilai tinggi akan dianggap sebuah prestasi tetapi kenyataannya mereka tidak menguasai materi yang diajarkan sama sekali. 

Disisi lain model pembelajaran seperti ini akan membunuh kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berpikir kritis dan kreatifitas. Padahal keterampilan-keterampilan tersebut wajib dimiliki oleh tenaga kerja abad 21.

Manipulasi negatif atau dengan sengaja melanggar regulasi adalah modus operandi lain dalam meningkatkan nilai UN. 

Contoh-contoh yang sering kita dengar antara lain kebocoran kunci jawaban UN baik yang diperjualbelikan, sengaja dibocorkan oleh oknum pemerintah, sampai dengan menggunakan ponsel untuk menfoto soal dan dibagi di media sosial, kemudian beberapa rekan mantan peserta Indonesia Mengajar bercerita bahwa di pelosok-pelosok Indonesia banyak sekali kejadian dimana UN dikerjakan oleh guru bukan siswa, dan yang terakhir adalah manipulasi ditingkat koreksi atau penilaian.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UN itu bagaikan timbangan rusak, artinya UN memang sebuah alat ukur tetapi hasil yang diukur tidaklah sesuai dengan kenyataan karena banyak terjadi manipulasi. 

Saat mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla  berulangkali mengatakan bahwa UN dibutuhkan karena Indonesia butuh suatu standar dalam program pendidikan, saya setuju dengan butuhnya standar, sayangnya bukan UN karena sebuah standar harusnya tidak bisa dimanipulasi.

Dengan demikian format baru alat ukur hasil pembelajaran peserta didik yang baru saja disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dengan nama Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter harus mampu memberikan ukuran yang benar-benar mencerminkan hasil dari proses pendidikan yang dilalui sehingga langkah dan kebijakan dapat diambil berdasarkan ukuran tersebut.

dokpri
dokpri
Peranan Bimbel (Bimbingan Belajar) dalam Pembangunan SDM

Beberapa waktu yang lalu saya mencoba membuat survei di media sosial mengenai pandangan masyarakat tentang dampak Bimbel pada pendidikan Indonesia. 51% mengatakan meningkatkan mutu sedangkan 49% mengatakan menjatuhkan mutu pendidikan Indonesia. 

Hasil ini sangat menarik karena survei tersebut secara tidak langsung menunjukkan 51% responden berpendapat bahwa sekolah menjatuhkan mutu pendidikan Indonesia.

Akhir-akhir ini, bertepatan dengan rilis survei PISA (Programme for International Student Assessment) 2018, sebuah survei internasional yang mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun. 

Saya melontarkan ide yang cukup kontroversial ke teman-teman di media massa. Saya katakan jika Presiden Joko Widodo serius dan berkomitmen untuk membangun SDM yang unggul maka salah satu hal pertama yang butuh beliau lakukan adalah menutup lembaga bimbel atau melarang peserta didik untuk ikut bimbel. 

Sama seperti langkah yang diambil pemerintah Korea Selatan di tahun 1980an saat mereka ingin mereformasi pendidikan nasionalnya. Dan lihat hasilnya, pendidikan Korea Selatan yang tadinya sangat buruk kualitasnya menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Logika munculnya bimbel sangatlah sederhana, bimbel menjamur saat mutu pelayanan pendidikan di sekolah formal buruk. Semakin baik mutu pendidikan di sekolah formal maka bimbel akan semakin tidak laku. 

Wajar jika pemerintah Korea Selatan mengambil kebijakan yang sangat tidak popular dalam rangka pembenahan sistem pendidikannya. Sebuah langkah yang bisa diikuti Indonesia, sejalan dengan konsep Pak Jokowi yang ingin menghentikan rutinitas.

Ide saya tersebut, ternyata menimbulkan berbagai macam reaksi, banyak yang mendukung namun tidak sedikit yang menghujat atau membully saya di media sosial. 

Rata-rata yang berseberangan pendapat mengatakan bahwa bimbel itu halal, memutar roda perekonomian, dan membantu memberikan pelayanan yang tidak dapat diberikan sekolah. 

Mereka membela bimbel agar tidak disalahkan dengan turunnya mutu pendidikan Indonesia. Perlu saya klarifikasi bahwa saya tidak pernah menyalahkan bimbel, mereka hanya mengambil kesempatan bisnis dari kelemahan sistem pendidikan kita. Saya justru menekankan komitmen pemerintah dalam menjalankan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berapa banyak anggaran yang sudah keluar untuk program-program pendidikan, baik dari APBN, APBD, bantuan luar negeri, CSR, dana masyarakat sendiri yang keluar untuk membayar uang sekolah (sekolah swasta), uang kegiatan, dan bimbel. 

Kalau kita tarik mulai tahun 2000, jumlahnya sudah ribuan triliun. Tapi apa hasilnya? 

Menurut hasil survey PISA kemampuan membaca anak-anak kita tidak ada perubahan sama sekali, kemampuan matematika dan sains anak-anak kitapun walau ada peningkatan namun tidak signifikan apalagi jika dibandingkan dengan biaya yang telah keluar.

Yang paling bahaya dari kondisi itu semua adalah kita merasa semuanya baik-baik saja. Baik pihak pemerintah maupun masyarakat terbuai dengan skor yang tinggi pada UN dan nilai-nilai yang diberikan disekolah. 

Padahal seperti saya jelaskan diawal tulisan, semua itu kamuflase. Faktanya SDM Indonesia dengan model pendidikan yang diterapkan memiliki keterampilan yang lebih rendah dibanding negara lain. 

Kalau mau menggunakan kalimat yang lebih keras dan sedikit kasar, mohon maaf, bangsa kita lebih bodoh dari bangsa lain dan itu fakta.

Coba kita cermati penjelasan dalam PISA: "Di Indonesia, hanya 30% peserta didik mencapai kemampuan level 2 dalam membaca, rerata negara OECD 77%. Untuk membaca di level 5, rerata negara OECD di 9% sedangkan Indonesia tidak ada. 

Sekitar 28% saja anak Indonesia mencapai lebel 2 dalam kemampuan matematika, rerata negara OECD 76%. Rerata peserta didik di negara-negara OECD pada kemampuan matematika level 5 berada di angka 11% sedangkan Indonesia hanya 1%. 

Untuk sains, siswa-siswa Indonesia berada di angka 40% mencapai level 2, dibandingkan dengan rerata negara OECD pada angka 78%. Dan sains di level 5 rerata negara OECD 7%, Indonesia tidak ada."

Kemampuan ilmu-ilmu dasar anak-anak Indonesia seperti membaca, matematika, sains, berada jauh dibawah rerata peserta didik dari negara-negara anggota OECD. Dengan kata lain, sekali lagi mohon maaf, bangsa kita lebih bodoh dari bangsa-bangsa lain. 

Dan ini dibiarkan selama hampir 20 tahun. Komplasensi, atau kebanggaan semu adalah kata paling tepat untuk menjelaskan sikap bangsa Indonesia terhadap kondisi pendidikan. 

Dan sudah banyak lembaga internasional yang memperingatkan hal yang sama secara akademis, seperti Lant Pritchett, Bank Dunia, dan yang terbaru dari Centre for Education Economics.

Dunia internasional harus diakui memandang sebelah mata pada kemampuan SDM Indonesia. 

Lihat saja artikel-artikel yang ditulis oleh Elizabeth Pisani dan bisa kita temukan secara online seperti: Anak Indonesia Tidak Tahu Betapa Bodohnya Mereka; Tampaknya 42% Anak Muda Indonesia Tidak Ada Gunanya; Negeri Manusia Bodoh?. Judul-judul yang cukup menyakitkan hati dan harusnya menyulut emosi. Tetapi, sepertinya kita tenang-tenang saja alias komplasen.

Kondisi seperti yang menurut saya juga dipengaruhi adanya bimbel-bimbel yang seolah olah membantu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia tetapi faktanya tetap stagnan selama hampir 20 tahun. Hal yang sangat membahayakan masa depan bangsa.

Ada juga imbas munculnya karakter-karakter negatif dengan adanya Bimbel seperti ketidakjujuran karena adanya janji-janji peningkatan nilai siswa bimbel akan berupaya dengan segala cara untuk hal tersebut tercapai dengan memberikan / menjual bocoran ujian, adanya manipulasi nilai apalagi jika guru sekolah juga menjadi bagian dari bimbel. 

Karakter mencari jalan pintas dengan segala cara untuk mencapai tujuan secara tidak langsung juga muncul dengan adanya bimbel. Rasa malas dan ketidak pedulian juga tumbuh baik pada siswa maupun guru karena menggantungkan nilai pada pola bimbel saja. Dan yang terburuk adalah perubahan pola belajar dari belajar ilmu menjadi belajar soal. 

Dari pengamatan saya di banyak daerah, peserta didik semakin sedikit belajar menggunakan buku, mayoritas belajar kertas soal. Ini sudah melenceng dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. 

Peserta didik harus dibimbing bagaimana menghadapi tantangan kehidupan bukan sekedar tes, apalagi tes yang dimanipulasi.

Melihat fakta-fakta diatas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran bimbel menghadirkan ilusi bahwa mutu pendidikan Indonesia meningkat berkat jasa mereka tetapi kenyataan justru mutu pendidikan Indonesia semakin terpuruk. 

Ini adalah pola pembodohan bangsa yang terstruktur, sistematis, dan masif apalagi banyak pihak yang mengambil keuntungan finansial dengan pola yang selama ini berjalan. 

Hal ini yang membuat pernyataan saya di beberapa media, menyarakan Presiden Joko Widodo untuk melarang berdirinya bimbel atau melarang peserta didik ikut program bimbel baik didalam sekokah maupun diluar karena bertentangan dengan konsep pembangunan sumber daya manusia.

Guru sebagai ujung tombak Program Pembangunan SDM

Di berbagai belahan dunia, program pembangunan SDM akan selalu dimulai dari guru. Sering kita dengar kisah bagaimana Kaisar Hirohito membangun kembali Jepang setelah negaranya hancur akibat kerusakan yang diakibatkan oleh bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. 

Setelah menyerah kepada Sekutu, Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka "Berapa jumlah guru yang tersisa?". 

Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. 

Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, "Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. 

Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan."

Hal senada juga kita temui dari negara tetangga kita yang tidak memiliki sumber daya alam sama sekali tetapi mampu mengoptimalkan asset yang mereka miliki yaitu sumber daya manusia secara optimal melalui pendidikan. 

Almarhum Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, berkeyakinan untuk mendidik sumber daya manusia masa depan yang unggul, mereka harus dididik oleh generasi masa kini yang terunggul. 

Artinya guru-guru Singapura adalah representasi dari SDM terunggul milik Singapura. Dan konsep tersebut telah berhasil membawa Singapura diakui sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia dan juga telah membawa warga negaranya ke tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi.

Finlandia sebagai negara yang juga dianggap salah satu sistem pendidikan terbaik dunia melalui konsep yang sama. Semua dimulai dari guru-guru terpilih yang kualitasnya tinggi.

Bagaimana dengan Indonesia? Masih terngiang ditelinga saya percakapan beberapa orang tua tentang bimbel untuk anak-anaknya. Mereka membandingkan kualitas bimbel yang satu dengan lain dari segi berapa banyak pengajarnya yang masih berstatus sebagai mahasiswa PTN atau lulusan PTN tetapi bukan yang dari LPTK. 

Mereka rela membayar mahal dengan keyakinan bahwa kemampuan pedagogi para mahasiswa atau lulusan PTN ini jauh diatas para gurunya disekolah. Dan percakapan seperti ini sudah ribuan kali saya dengar. 

Hal ini membuktikan betapa rendahnya penghargaan masyarakat pada profesi pendidik. Para orang tua rela membayar mahal untuk pendidikan yang dilakukan oleh mereka yang tidak dilatih menjadi pendidik, tetapi untuk sekolah formal para orang tua sampai rela memalsukan dokumen kewarganegaraan demi anaknya diterima di sekolah gratis.

Pandangan pemerintah secara umum tidak jauh berbeda dengan masyarakat. Profesi pendidik masih dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa pendidikan keguruan. 

Terbukti dengan banyaknya pejabat dinas pendidikan, kepala sekolah, dan guru yang ditempatkan bukan berdasarkan kapabilitas, pengalaman, dan latar belakang ilmunya, melainkan banyak didasari oleh keputusan politis maupun kebutuhan ekonomi semata.

Data di Kemdikbud menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah siswa pendidikan dasar dan pendidikan menengah di Indonesia dari tahun 1999 ke tahun 2015 ada 17%, tetapi pertumbuhan guru ASN 23% dan guru honorer 860%. 

Guru honorer direkrut dan diangkat oleh pemerintah daerah, dengan pertumbuhan yang fantastis dan jauh dari pertumbuhan jumlah siswa harusnya menimbulkan pertanyaan bagi berbagai pihak tentang urgensi dan tujuan perekrutan tersebut.

Pemerintah pusat berusaha menjaga mutu pelayanan dengan mewajibkan gelar kesarjanaan yang linier untuk para pendidik, tetapi apa yang terjadi? Justru makin bermunculan ijazah-ijazah palsu yang membuat kondisi pendidikan Indonesia semakin rusak dan terpuruk mutunya.

Untuk itulah demi menjaga mutu pendidik yang tinggi, ada baiknya agar setiap pendidik memiliki Surat Registrasi Guru (SRG), seperti yang dimiliki oleh profesi lain yaitu dokter dan dokter gigi yang dikenal dengan istilah Surat Tanda Registrasi (STR). 

Registrasi merupakan proses dimana seorang guru harus mendaftarkan / mencatatkan dirinya pada suatu badan negara tertentu, untuk para dokter badan yang ditunjuk adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk status keperdataannya (sebagai guru) yang diakui sah oleh negara untuk dapat menjalankan profesinya sebagai guru di Indonesia. 

Artinya registrasi guru adalah proses untuk mendapatkan aspek legal sebagai guru saat menjalankan praktik keguruannya, dan Surat Registrasi Guru (SRG) adalah bukti atau lisensinya.

Surat Registrasi Guru (SRG) adalah bukti tertulis / dokumen hukum bagi guru, yang mempunyai makna, bahwa guru tersebut telah mendaftarkan diri, dan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh badan negara tertentu, sehingga guru tersebut secara hukum diakui oleh negara sebagai guru yang  mempunyai kualifikasi tertentu untuk melakukan tindakan keguruan. karena kompetensinya sebagai guru sudah diakui oleh pemerintah, dan berwenang melakukan praktik keguruan sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas: Kompetensi Pedagogik; Kompetensi Kepribadian; Kompetensi Profesional; dan Kompetensi Sosial seperti yang diamanatkan dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Badan yang ditunjuk untuk mengeluarkan Surat Registrasi Guru (SRG) ini harus otonom, mandiri, non structural, dan bersifat independen, yang bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia.  

Badan ini, sebut saja Konsil Keguruan dan Pendidikan Indonesia (KKPI) mempunyai  tugas untuk melakukan registrasi guru, mengesahkan standar pendidikan profesi guru, dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik keguruan yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan.

Komitmen Pembangunan SDM sebagai Salah Satu Prasyarat Indonesia Menuju Negara Maju 2045

Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 di bulan Oktober yang lalu, beliau menyampaikan bahwa di tahun 2045 Indonesia akan dapat mewujudkan impiannya untuk menjadi negara maju sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-5 sedunia dengan produk domestik bruto sebesar US $7 triliun dan pendapatan per kapita sebesar Rp320 juta per tahun. 

Agar impian tersebut tercapai, maka pembangunan SDM harus menjadi prioritas. Menurut saya sebuah langkah yang tepat, patut mendapat apresiasi tinggi, dan jelas harus didukung seluruh elemen bangsa agar impian ini terwujud.

Beberapa masukan yang dapat saya berikan dalam upaya mendukung kesuksesan program pembangunan SDM:

  • Program Pembangunan SDM adalah sebuah program jangka panjang. Bisa dianalogikan bagaimana mempersiapkan panen raya hasil pertanian / perkebunan. Harus mulai dengan menyiapkan lahan, lahannya harus subur, benih harus dipilih yang baik, benihnya harus ditanam dengan baik, diberi pupuk, disirami, dan dijaga dari berbagai serangan hama atau perubahan cuaca, barulah bisa memetik hasilnya. Semuanya butuh proses dan waktu tetapi dapat diukur.
  • Kesuksesan program Pembangunan SDM masa depan terletak pada pelaksana program tersebut alias SDM masa saat ini. Untuk itu penunjukkan pejabat-pejabat pembuat kebijakan pendidikan, rektor, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru dan dosen haruslah tepat. Kalau menggunakan pepatah bule, bukan senjatanya tetapi orang yang menggunakan senjatanya yang menjadi kunci sukses. Untuk itu seleksi harus ketat dan sesuai juga peningkatan kapasitas dan kualitas harus terus menerus dilakukan.
  • Debugging. Dalam konsep coding / pemograman komputer, diyakini bahwa tidak ada yang sempurna, semua program pasti ada bug atau problem. Untuk itu selalu ada updates atau debugging. Demikian pula dengan program Pembangunan SDM ini, terlalu naif jika ada yang menyatakan bahwa ada program yang sempurna. Untuk itu semua program hendaknya secara berkala dievaluasi dan diperbaiki agar tujuan tercapai.

Satu hal yang perlu disadari, kebutuhan memiliki generasi penerus yang unggul bukanlah menjadi kepentingan rezim, golongan, suku, agama, maupun kelompok tertentu, melainkan kepentingan bersama seluruh bangsa Indonesia. 

Untuk itu program ini wajib didukung, dilaksanakan, dan menjadi tanggung jawab bersama demi tercapainya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Semoga impian kita bersama dapat terwujud di tahun 2045.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun