Bimbel secara umum akan mendrilling siswa-siswanya dengan terus menerus mengerjakan soal-soal UN. Siswa juga diajarkan trik-trik untuk menerka jawaban terbaik dari bentuk soal dan pilihan jawaban.
Model persiapan tes seperti ini akan membantu siswa untuk mendapatkan nilai tinggi tetapi dengan siswa pada dasarnya tidak menguasai materi.
Mereka hanya disiapkan untuk mendapatkan nilai yang tinggi dalam tes. Dan kini berdampak pada cara belajar siswa, siswa tidak lagi membaca buku melainkan membaca tes.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, konsep belajar seperti ini akan menjerumuskan anak karena mereka mendapatkan prestasi yang hanya sebatas kamuflase. Nilai tinggi akan dianggap sebuah prestasi tetapi kenyataannya mereka tidak menguasai materi yang diajarkan sama sekali.
Disisi lain model pembelajaran seperti ini akan membunuh kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berpikir kritis dan kreatifitas. Padahal keterampilan-keterampilan tersebut wajib dimiliki oleh tenaga kerja abad 21.
Manipulasi negatif atau dengan sengaja melanggar regulasi adalah modus operandi lain dalam meningkatkan nilai UN.
Contoh-contoh yang sering kita dengar antara lain kebocoran kunci jawaban UN baik yang diperjualbelikan, sengaja dibocorkan oleh oknum pemerintah, sampai dengan menggunakan ponsel untuk menfoto soal dan dibagi di media sosial, kemudian beberapa rekan mantan peserta Indonesia Mengajar bercerita bahwa di pelosok-pelosok Indonesia banyak sekali kejadian dimana UN dikerjakan oleh guru bukan siswa, dan yang terakhir adalah manipulasi ditingkat koreksi atau penilaian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UN itu bagaikan timbangan rusak, artinya UN memang sebuah alat ukur tetapi hasil yang diukur tidaklah sesuai dengan kenyataan karena banyak terjadi manipulasi.
Saat mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla berulangkali mengatakan bahwa UN dibutuhkan karena Indonesia butuh suatu standar dalam program pendidikan, saya setuju dengan butuhnya standar, sayangnya bukan UN karena sebuah standar harusnya tidak bisa dimanipulasi.
Dengan demikian format baru alat ukur hasil pembelajaran peserta didik yang baru saja disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dengan nama Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter harus mampu memberikan ukuran yang benar-benar mencerminkan hasil dari proses pendidikan yang dilalui sehingga langkah dan kebijakan dapat diambil berdasarkan ukuran tersebut.