Kalau kita tarik mulai tahun 2000, jumlahnya sudah ribuan triliun. Tapi apa hasilnya?
Menurut hasil survey PISA kemampuan membaca anak-anak kita tidak ada perubahan sama sekali, kemampuan matematika dan sains anak-anak kitapun walau ada peningkatan namun tidak signifikan apalagi jika dibandingkan dengan biaya yang telah keluar.
Yang paling bahaya dari kondisi itu semua adalah kita merasa semuanya baik-baik saja. Baik pihak pemerintah maupun masyarakat terbuai dengan skor yang tinggi pada UN dan nilai-nilai yang diberikan disekolah.
Padahal seperti saya jelaskan diawal tulisan, semua itu kamuflase. Faktanya SDM Indonesia dengan model pendidikan yang diterapkan memiliki keterampilan yang lebih rendah dibanding negara lain.
Kalau mau menggunakan kalimat yang lebih keras dan sedikit kasar, mohon maaf, bangsa kita lebih bodoh dari bangsa lain dan itu fakta.
Coba kita cermati penjelasan dalam PISA: "Di Indonesia, hanya 30% peserta didik mencapai kemampuan level 2 dalam membaca, rerata negara OECD 77%. Untuk membaca di level 5, rerata negara OECD di 9% sedangkan Indonesia tidak ada.
Sekitar 28% saja anak Indonesia mencapai lebel 2 dalam kemampuan matematika, rerata negara OECD 76%. Rerata peserta didik di negara-negara OECD pada kemampuan matematika level 5 berada di angka 11% sedangkan Indonesia hanya 1%.
Untuk sains, siswa-siswa Indonesia berada di angka 40% mencapai level 2, dibandingkan dengan rerata negara OECD pada angka 78%. Dan sains di level 5 rerata negara OECD 7%, Indonesia tidak ada."
Kemampuan ilmu-ilmu dasar anak-anak Indonesia seperti membaca, matematika, sains, berada jauh dibawah rerata peserta didik dari negara-negara anggota OECD. Dengan kata lain, sekali lagi mohon maaf, bangsa kita lebih bodoh dari bangsa-bangsa lain.
Dan ini dibiarkan selama hampir 20 tahun. Komplasensi, atau kebanggaan semu adalah kata paling tepat untuk menjelaskan sikap bangsa Indonesia terhadap kondisi pendidikan.
Dan sudah banyak lembaga internasional yang memperingatkan hal yang sama secara akademis, seperti Lant Pritchett, Bank Dunia, dan yang terbaru dari Centre for Education Economics.