Bila Hitler sempat melihat perjuangan emak-emak di Indonesia, ia akan menarik ucapannya yang menyatakan, bahwa bangsa Arya adalah ras paling unggul di muka bumi.
"Di dunia ini banyak pekerjaan lain! Eh, kenapa pula kau jadi penadah!"Â
"Eh, kenapa pula Bapak jadi polisi?" Tak mau kalah. Mona menjawab ketus. Ia tak rela dituduh sebagai penadah. Meski pun barang-barang di lapaknya, tak jelas asal usulnya. Namun dari mana ia tahu, kalau barang itu punya riwayat hasil curian.
Mona menatap tajam pada lelaki kurus, yang terborgol di sudut ruangan. Ia tak menyangka, orang yang merengek minta dibantu, ternyata serigala berbulu domba. Â
Dua buah jam tangan disita, dan satu jaket kulit buaya, di ambil orang yang mengaku pemiliknya. Mona cemberut. Waktu untuk berdagang, harus tersita di kantor polisi.Â
Meski malam itu ia lepas dari tuduhan, tetapi tetap saja ia tak senang. Barang dagangan mesti diikhlaskan. Modal melayang tak kembali. Dan yang pasti, reputasinya sudah tercoreng.Â
Malam itu Mona masuk ke rumah dengan wajah lesu. Matanya sayu. Ia mencium kening anak lelaki yang tertidur di depan televisi. Dan pelan-pelan membopong ke dalam kamar.Â
Pusat semesta Mona adalah Bento, buah hati yang susah payah dibesarkannya. Bapaknya tak perlu dipikirkan lagi, si hidung belang itu telah lama kabur bersama perempuan lain. Dia hilang tanpa jejak. Tanpa selembar surat cerai, atau kata-kata sakti.Â
Bahkan Bento adalah nama yang diberikan oleh mendiang pamannya. Mulanya Mona menolak nama itu, ia tak ingin anaknya jadi preman seperti tokoh pada lagu Iwan Fals. Namun menurut paman, nama itu berasal dari bahasa Portugis yang artinya diberkati.  Â
Bento kecil pernah bertanya, "Mak, kemana perginya bapak?"Â
Dan Mona asal menjawab,"Nak, bapakmu hilang di hutan!"Â
Sejak Bento masih bayi merah, Mona sudah membawanya pergi bekerja. Pekerjaan apa saja ia lakukan. Mulai dari binatu, juru parkir, dan pelayan rumah makan. Hingga ia fokus mengurus lapak barang bekas di Pasar Maling, yang diwariskan mendiang paman.Â
Selain berkutat di Pasar Maling, rutinitas Mona ialah mengantar Bento ke tempat les matematika. Setelah makan siang, berlanjut ke tempat les bahasa Inggris. Dan sebelum Maghrib, ia membawa Bento ke kios reparasi laptop milik Pak Ali, untuk kursus komputer.Â
Bagi Mona, meski hidup sulit. Namun soal pendidikan tak boleh pelit. Menjadi orang terpelajar, bukan jaminan kaya raya. Namun paling tidak, Bento memiliki bekal yang lebih baik di masa depan.Â
Hari ini, Mona terlambat membuka lapak. Motor mogok. Ia harus menuntun ke kios bensin eceran. Dua botol dituang. Dan sepeda motor melesat secepat kilat.
Lampu sein berkedip ke kiri, Mona tetap melaju lurus. Ngebut, sepeda motornya seperti tak pakai rem. "Eh, waktu adalah uang!"Â
Lolongan klakson tiba-tiba terdengar. Mona gemetar, hampir hilang kendali. Hanya seratus meter dari lapaknya, dan tak menduga, di belakangnya ada motor lain dari arah yang sama. Ia mengurangi kecepatan dan bersiap menepi ke kiri. Â
Namun tak lama, jeritan klakson kembali memekakkan telinga. Mona terkesiap. Ia menoleh ke kiri, karena spion hanya terpasang di sisi kanan. Memincingkan mata. Dan siap menyembur umpatan.
Namun air mukanya berubah. Mona mengenali sosok pengendara jahil itu. "Kalau orang lain, sudah kupukul kau, Valen!" Â
Valen menghentikan sepeda motornya di samping lapak milik Mona, ia menatap genit. Tersenyum. Dan berkata, "Oh, jadi selama ini kau anggap aku orang dekat?"Â
"Eh, simpan gombalanmu! Kumpulkan yang banyak untuk dijual!" Jawab Mona, sembari turun dari motornya.Â
Hari itu, Pasar Maling cukup ramai. Kebanyakan pembeli datang, hendak mencari barangnya yang hilang dicuri, terbuang, atau dipinjamkan dan tak kembali.Â
Dan seorang kakek benar-benar percaya, bahwa pasar loak tempat Mona berdagang adalah tempat maling-maling menjual hasil curiannya. Padahal itu sekadar julukan. Barang bekas di Pasar Maling, kebanyakan didatangkan dari luar negeri.Â
Mona melirik kakek tua yang melihat-lihat dagangannya. Ia tak asing dengan sosok ini. Beliau biasa datang di akhir pekan. Namun akhir-akhir ini, beliau berkunjung hampir tiap hari.Â
Dan kali ini Mona mencoba bertanya, "Mau cari barang apa, Kek?"Â
"Liontin jam," jawabnya pelan.Â
Mona mengeluarkan sebuah kotak kayu dari bawah meja, dan berkata, "Ini Kek, pilih-pilih yang mana suka."
Sang kakek memperhatikan beberapa buah liontin jam di dalam kotak, tanpa menyentuh. Dan beliau pun berkata, "Maaf, Dek. Barang yang kucari tak ada di sini."Â
"Liontin jam yang lain banyak ini, Kakek."Â
"Taklah, liontin yang kucari ada ukiran nama mendiang istriku. Barang itu mungkin takkan kutemukan lagi. Tak apa biar kucari esok, setidaknya ingatan pada istriku tak pernah hilang."Â
Mona terenyuh pada kata-kata sang kakek. Ia tak menyangka, di dunia ini masih ada laki-laki yang begitu mencintai istrinya. Meski pun sudah tiada. Seorang kakek yang mencari barang peninggalan, hanya untuk merawat ingatan.Â
Ia tak pernah yakin dengan kata-kata cinta dari mulut lelaki. Termasuk gombalan Valen. Bujang lapuk di Pasar Maling itu, berulangkali menyatakan cintanya. Namun Mona tak dapat membedakan, apakah dia serius atau bergurau saja.Â
Pagi tadi Mona melihat Valen datang. Namun tak melihat ia membuka lapak. Pandangannya beralih ke kedai kopi milik Bude Wati. Dan benar saja, Valen tengah bersantai sembari menikmati secangkir kopi.Â
Valen yang menyadari Mona menatapnya dari jauh, menepuk-nepuk bangku di sampingnya. Dan hal itu balas Mona dengan kepalan tangan. "Eh, dasar lelaki pemalas!"
Mona meminta Valen menjaga lapaknya sebentar. Ia harus mengantar Bento ke tempat les bahasa Inggris. Dan bantuan macam itu, perkara sepele bagi Valen. Pernah sekali waktu, ia diminta menambal atap bocor.
Begitu Mona kembali, Valen tiba-tiba berkata,"Bento sudah besar, dia butuh sosok bapak."
Mona menunda rencananya merapikan lapak. Ia mengambil duduk di tepi meja. Menatap Valen dan ia menjawab,"Bento lebih butuh makan. Kasih sayangku sudah cukup, kukira."
Valen meletakkan krat bekas minuman di depan Mona. Duduk. Dan dengan wajah serius ia berkata, "Besok aku mau pergi ke Jakarta. Maukah kau ikut denganku?"Â
Mona diam saja.Â
"Aku dapat pekerjaan bagus di Jakarta. Kukira gajinya cukup untuk kita bertiga."Â
"Eh, siapa kita?" Mona seolah kaget saat mendengar kata-kata Valen.Â
Belum sempat Valen membuka mulut. Mona kembali berkata, "Kau berhak untuk hidup lebih baik, Valen. Kau orang baik."
Ia mencoba beranjak, tetapi Valen tiba-tiba berdiri seakan menahan Mona untuk mengakhiri pembicaraan ini. "Mona, aku mau menjadi bapaknya Bento!"Â
Mona terpaksa duduk kembali. Menunduk sekejap, dan menatap Valen dalam-dalam. Ia mengangkat tangan dan menunjukkan cincin kawin. Ikatan pernikahan memang sudah hancur. Namun di atas kertas, status Mona masih sebagai istri orang.Â
Dengan mata berkaca-kaca, Mona berkata lirih, "Valen, sudahi kelakarmu."Â
Dan keramaian di Pasar Maling seketika lenyap. Kehangatan cinta, semangat menyala, dan gairah membara, ternyata tak mampu melelehkan hati yang beku.Â
"Maafkan aku, Valen."Â Mona berkata dalam hati. Di satu sisi ia menginginkan Valen sebagai teman hidup. Namun di sisi lain, ia tak ingin menyandarkan harapan pada lelaki.
Valen menatap mata Mona dalam-dalam. Menarik nafas. Mereka bak berbicara tanpa kata-kata. Hening. Dan di Pasar Maling, tak pernah ada kisah cinta.
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H