Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sehabis Hujan

19 Juni 2021   12:32 Diperbarui: 19 Juni 2021   12:49 1982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendaki gunung (Foto: Aris_Tsitiridis Via Pixabay)

HARI beranjak sore, gumpalan awan besar terlihat bergerak dari ufuk timur. Membawa kilatan sinar menari-nari. Halilintar menyambar-nyambar. Menyusul dentuman keras memecah sunyi. Langit menghitam. Badai semakin dekat.

Dari atas tebing, sepasang mata menatap resah. Hawa dingin menusuk pori-pori. Hembusan angin menampar pucuk-pucuk pohon. Meniup daun-daun kering dan debu beterbangan. Malam akan tiba lebih awal. 

"Kumulonimbus!"

Farhan menurunkan pandangan, berpikir sejenak. Kemudian berlari menuju pondok kecil di kaki gunung. Ransel di punggung, membuat langkahnya tak dapat berpacu dengan derai hujan yang turun tiba-tiba. Ia pasrah. 

Tatapannya lurus ke arah pondok. Rumah bertembok kusam yang beratapkan seng karatan. Mungkin itu pos pendakian yang ditinggalkan. Jalur pendakian ke puncak, sudah bergeser dan tidak melewati area itu. 

Langit bergemuruh, hujan kian deras. Farhan akhirnya tiba di teras pondok. Menurunkan barang bawaan dan berteduh. Di sana sudah ada seorang perempuan. Menyalakan api dan menyeduh secangkir kopi. 

"Masuklah, badai akan menjelang!" seru Amira. 

"Apa?!" Farhan kurang jelas mendengar seruan Amira. Iapun mendekat ke depan pintu dan mengerti, setelah melihat isyarat berupa lambaian tangan dari perempuan cantik di dalam pondok. 

Ia duduk di tepi perapian yang dibuat Amira. Mencabut cangkir aluminium dari ranselnya. Dan Amira menyambut dengan menuangkan kopi hitam dari cangkirnya.  

Mereka beradaptasi dengan bunyi gemericik berisik dari atap pondok. Obrolan yang dimulai dengan saling berteriak, kini mulai terdengar akrab. 

Dingin berganti kehangatan. Berselimut keakraban, kopi dan perapian. Mereka berdua baru pertama kali bertemu. Namun Farhan merasa, tengah berbincang dengan sahabat lama. 

"Kukira, hujan bulan Juni hanya milik Pak Sapardi. Kini, hal itu bukan lagi anomali," ucap Farhan. 

Bibir merah Amira menyeruput kopi dengan nikmat. Ia menuntaskan desahan 'ah' kemudian berkata, "itu karena kalian sudah terlalu banyak merusak alam."

Respon Amira meleset jauh dari ekspektasi Farhan. Tak mau kalah bicara, Iapun berkata, "realistis sajalah, manusia membutuhkan lahan untuk menopang kehidupan." 

"Alasan! lantas, apa yang membawamu kemari?" tanya Amira. 

"Aku bekerja," jawab Farhan. 

"Benarkah, apakah kamu peneliti hewan buas?" 

Farhan terdiam mendengar pertanyaan Amira. Ia berpikir keras, bila ia mengatakan hal yang sebenarnya. Tentu respon Amira akan semakin menyebalkan. Dari gaya bicaranya, perempuan cantik ini seorang pecinta alam. 

"Aku mengamati lingkungan," jawabnya. 

"Syukurlah. Bila kamu peneliti hewan buas, kamu takkan menemukan apapun di sini. Ular, macan tutul dan harimau sudah lama hilang," ungkap Amira.

"Kemana perginya?" 

"Mungkin sudah jadi dompet di saku celanamu." 

Amira belum tuntas berbicara, tiba-tiba daun pintu terhempas keras. Butiran-butiran hujan menusuk masuk ke dalam. Petir menggelar, menyusul bunyi decitan keras dari atap seng yang tercerabut dan terbang digulung angin.

Badai menyapu terburu-buru dan api telah padam. Farhan meraih lengan Amira dan menariknya berlindung ke sudut ruangan. Dingin. 

Dalam kegelapan malam, Farhan dan Amira bertahan dalam diam. Hingga badai beranjak pergi. Hujan berlalu dan suara bergemuruh semakin jauh. Tersisa tetesan air yang jatuh dari sela-sela kayu penyangga atap yang patah.  

Kini, pondok tempat mereka berteduh hanya beratapkan langit malam. Farhan ambruk ke lantai di dekat perapian yang telah padam. Tubuhnya lemas. Matanya terpejam. Iapun menarik nafas panjang.  

"Hei, buka matamu. Lihatlah bintang-bintang di atas sana." Amira berbaring di samping Farhan. Badai telah berlalu. Bening matanya menatap mesra ke angkasa. 

Farhan membuka mata. Langit malam membentang bercahaya. "Katanya, setelah badai akan ada pelangi. Namun hamparan bintang-bintang itu, terlihat lebih seksi."

Ia menoleh ke wajah Amira. Dilihatnya paras cantik itu tengah memandang langit yang sama. Hidung terukir laksana gunung. Mata bening yang memantulkan cahaya terang. Ia secantik bidadari dalam dongeng. 

"Bolehkah aku menemanimu mendaki ke puncak, Amira?" 

Bibir Amira membentuk segaris senyum. Ia tak menjawab apapun. Matanya masih menatap ke langit luas. Sedangkan Farhan tak kuasa mengalihkan pandangan. 

Hingga kelelahan memaksa kedua matanya terpejam. Dininabobokan desir angin. Lelap dibelai kemesraan. 

"Mas, bangun! kamu baik-baik saja?"

Petugas patroli cagar alam berusaha membangunkan Farhan. Petugas itu memandang heran, ada pendaki yang tertidur sendirian di pos terbengkalai. 

Farhan terkesiap begitu melihat petugas di hadapannya. Matanya mencari sosok Amira di sekeliling. Ia tergesa bangkit dan berlari keluar pondok. 

Hanya ada hamparan rumput hijau, tebing berbatu dan hutan pinus yang memagari gunung tinggi menjulang.

"Mas, kamu mencari apa?" Petugas semakin heran dengan tingkah Farhan.   

Dalam hati Farhan berkata, Amira sungguh keterlaluan. Ia bahkan tidak membangunkan dan malah pergi begitu saja. Apakah Amira mengejar waktu untuk mendaki ke puncak gunung. 

Farhan menjadi sangat penasaran. Terlebih, ia baru pertama kali berjumpa dengan solo traveler perempuan dan sama-sama terjebak di tengah badai. 

"Ke puncak gunung, lewat jalur mana yang paling cepat, Pak?" tanya Farhan. 

"Semua jalur ditutup sejak dua bulan lalu, Mas. Malah saya bingung, kamu sampai di jalur ini lewat mana?" ungkap petugas. 

Farhan merogoh dompet dan mengambil kartu nama. Ia menunjukkannya pada petugas, seraya memberikan penjelasan. Bahwa ia baru selesai berkemah sekaligus survei lokasi untuk pembukaan lahan di lereng sebelah utara. 

"Oh, Kamu pegawai kantor pertambangan." 

Petugas cagar alam, memberikan tumpangan pada Farhan menuju dusun terdekat. Sepanjang perjalanan, obrolan mereka mengalir deras. Melintasi pohon-pohon Pinus dan padang rumput. Kabut sudah meleleh dibelai mentari pagi. 

"Mas beruntung, biasanya pendaki solo yang lewat sini sering mengalami peristiwa aneh," ucap petugas. 

"Tersesat?" 

"Bukan! Dua tahun lalu ada pendaki perempuan yang terjatuh dari tebing, tetapi jenazahnya tak pernah ditemukan. Padahal lokasinya tak jauh dari pos lama."

Dada Farhan terasa sesak. Degup jantung berdebar dan kuping terasa pengang. Ia tak dapat lagi mendengar lanjutan cerita dari petugas di sampingnya. "Itu bukan Amira, aku yakin," ucapnya dalam hati. 

Farhan mengalihkan pandangannya pada suasana alam. Berusaha menenangkan diri, seraya mengatur tempo nafasnya. Dari kaca spion mobil, ia menatap ke arah pondok di kaki gunung. Dan perlahan menghilang ditelan rimbun pepohonan. 

Para pendaki membenamkan kegelisahan dan penat di kaki dan puncak gunung. Bila kaki dan puncak gunung dicabik, digali dan dialih fungsi. Tentu kegelisahan dan penat yang bersemayam akan terus menghantui.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun