HARI beranjak sore, gumpalan awan besar terlihat bergerak dari ufuk timur. Membawa kilatan sinar menari-nari. Halilintar menyambar-nyambar. Menyusul dentuman keras memecah sunyi. Langit menghitam. Badai semakin dekat.
Dari atas tebing, sepasang mata menatap resah. Hawa dingin menusuk pori-pori. Hembusan angin menampar pucuk-pucuk pohon. Meniup daun-daun kering dan debu beterbangan. Malam akan tiba lebih awal.Â
"Kumulonimbus!"
Farhan menurunkan pandangan, berpikir sejenak. Kemudian berlari menuju pondok kecil di kaki gunung. Ransel di punggung, membuat langkahnya tak dapat berpacu dengan derai hujan yang turun tiba-tiba. Ia pasrah.Â
Tatapannya lurus ke arah pondok. Rumah bertembok kusam yang beratapkan seng karatan. Mungkin itu pos pendakian yang ditinggalkan. Jalur pendakian ke puncak, sudah bergeser dan tidak melewati area itu.Â
Langit bergemuruh, hujan kian deras. Farhan akhirnya tiba di teras pondok. Menurunkan barang bawaan dan berteduh. Di sana sudah ada seorang perempuan. Menyalakan api dan menyeduh secangkir kopi.Â
"Masuklah, badai akan menjelang!" seru Amira.Â
"Apa?!" Farhan kurang jelas mendengar seruan Amira. Iapun mendekat ke depan pintu dan mengerti, setelah melihat isyarat berupa lambaian tangan dari perempuan cantik di dalam pondok.Â
Ia duduk di tepi perapian yang dibuat Amira. Mencabut cangkir aluminium dari ranselnya. Dan Amira menyambut dengan menuangkan kopi hitam dari cangkirnya. Â
Mereka beradaptasi dengan bunyi gemericik berisik dari atap pondok. Obrolan yang dimulai dengan saling berteriak, kini mulai terdengar akrab.Â
Dingin berganti kehangatan. Berselimut keakraban, kopi dan perapian. Mereka berdua baru pertama kali bertemu. Namun Farhan merasa, tengah berbincang dengan sahabat lama.Â