Farhan terkesiap begitu melihat petugas di hadapannya. Matanya mencari sosok Amira di sekeliling. Ia tergesa bangkit dan berlari keluar pondok.Â
Hanya ada hamparan rumput hijau, tebing berbatu dan hutan pinus yang memagari gunung tinggi menjulang.
"Mas, kamu mencari apa?" Petugas semakin heran dengan tingkah Farhan. Â
Dalam hati Farhan berkata, Amira sungguh keterlaluan. Ia bahkan tidak membangunkan dan malah pergi begitu saja. Apakah Amira mengejar waktu untuk mendaki ke puncak gunung.Â
Farhan menjadi sangat penasaran. Terlebih, ia baru pertama kali berjumpa dengan solo traveler perempuan dan sama-sama terjebak di tengah badai.Â
"Ke puncak gunung, lewat jalur mana yang paling cepat, Pak?" tanya Farhan.Â
"Semua jalur ditutup sejak dua bulan lalu, Mas. Malah saya bingung, kamu sampai di jalur ini lewat mana?" ungkap petugas.Â
Farhan merogoh dompet dan mengambil kartu nama. Ia menunjukkannya pada petugas, seraya memberikan penjelasan. Bahwa ia baru selesai berkemah sekaligus survei lokasi untuk pembukaan lahan di lereng sebelah utara.Â
"Oh, Kamu pegawai kantor pertambangan."Â
Petugas cagar alam, memberikan tumpangan pada Farhan menuju dusun terdekat. Sepanjang perjalanan, obrolan mereka mengalir deras. Melintasi pohon-pohon Pinus dan padang rumput. Kabut sudah meleleh dibelai mentari pagi.Â
"Mas beruntung, biasanya pendaki solo yang lewat sini sering mengalami peristiwa aneh," ucap petugas.Â