Amira belum tuntas berbicara, tiba-tiba daun pintu terhempas keras. Butiran-butiran hujan menusuk masuk ke dalam. Petir menggelar, menyusul bunyi decitan keras dari atap seng yang tercerabut dan terbang digulung angin.
Badai menyapu terburu-buru dan api telah padam. Farhan meraih lengan Amira dan menariknya berlindung ke sudut ruangan. Dingin.Â
Dalam kegelapan malam, Farhan dan Amira bertahan dalam diam. Hingga badai beranjak pergi. Hujan berlalu dan suara bergemuruh semakin jauh. Tersisa tetesan air yang jatuh dari sela-sela kayu penyangga atap yang patah. Â
Kini, pondok tempat mereka berteduh hanya beratapkan langit malam. Farhan ambruk ke lantai di dekat perapian yang telah padam. Tubuhnya lemas. Matanya terpejam. Iapun menarik nafas panjang. Â
"Hei, buka matamu. Lihatlah bintang-bintang di atas sana." Amira berbaring di samping Farhan. Badai telah berlalu. Bening matanya menatap mesra ke angkasa.Â
Farhan membuka mata. Langit malam membentang bercahaya. "Katanya, setelah badai akan ada pelangi. Namun hamparan bintang-bintang itu, terlihat lebih seksi."
Ia menoleh ke wajah Amira. Dilihatnya paras cantik itu tengah memandang langit yang sama. Hidung terukir laksana gunung. Mata bening yang memantulkan cahaya terang. Ia secantik bidadari dalam dongeng.Â
"Bolehkah aku menemanimu mendaki ke puncak, Amira?"Â
Bibir Amira membentuk segaris senyum. Ia tak menjawab apapun. Matanya masih menatap ke langit luas. Sedangkan Farhan tak kuasa mengalihkan pandangan.Â
Hingga kelelahan memaksa kedua matanya terpejam. Dininabobokan desir angin. Lelap dibelai kemesraan.Â
"Mas, bangun! kamu baik-baik saja?"
Petugas patroli cagar alam berusaha membangunkan Farhan. Petugas itu memandang heran, ada pendaki yang tertidur sendirian di pos terbengkalai.Â