TIGA hari sudah, Helena tidak dapat tidur lelap. Sepulang mendaki Gunung Pangrango, pegal-pegal pada betis dan pundaknya masih terasa. Â
Ia meringis menahan sakit, saat mencoba berdiri. Namun, sesekali tersenyum sendiri. Mengingat kisah manis bersama Chandra, di Mandalawangi.Â
"Aku harus terbiasa naik gunung!" gumamnya.
Cerita sebelumnya klik di sini
"Helena, ada Chandra mau bertemu," panggil Ibu Monika dari balik pintu.
"Minta tunggu diluar, Bu Monika. Aku belum mandi," jawab Helena.
Ibu Monika membuka pintu dan berkata, "ehmm, mana mungkin kuminta masuk kamar."
Helena tersenyum lebar, ia masih duduk di atas ranjang dengan selimut yang masih membelit tubuhnya.Â
"Malah nyengir, ayo lekas mandi," ucap Bu Monika.
Chandra semakin rajin menemani anak-anak panti. Bahkan, ia sudah punya jadwal rutin mendongeng dan belajar bersama.Â
Helena dan tawa riang anak-anak panti, membuatnya betah berlama-lama. Dan rela, menyisihkan waktu seminggu dua kali.
Hari itu, Helena terlihat lebih cantik dan berseri. Senada dengan gaun putih berenda bunga yang dikenakan, hatinya berbunga-bunga.
"Maaf, Chandra ada apa?" Tanya Helena.
"Hei, bagaimana keadaanmu, masih terasa pegalkah?" Jawab Chandra.
Helena tersenyum kembali, ia berjalan lebih dekat pada Chandra dan berkata, "ya ampun, maaf membuatmu khawatir. Sudah lebih baik sekarang."
"Kau ke sini, hanya untuk bertanya itu?" tanya Helena malu-malu.
"Aku diminta Bu Monika mengantar Nirmala. Gadis cantik itu, ada pentas di Jakarta," jawabnya.
"Biasanya Pak Teo?" ujar Helena.
"Beliau hanya bisa jemput saja, ada urusan mendesak," jawab Chandra sambil berlalu.
Betapa Helena merasa malu. Perhatian Chandra selama di pangrango, bisa-bisanya membuat grogi. "Duh, kenapa jadi ge'er begini," dalam hatinya. Iapun melirik pada Ibu Monika, yang tengah menahan tawa.
Nirmala dan Ibu Monika, berangkat bersama Chandra. Sebuah pentas menyanyi yang dilaksanakan yayasan tunanetra di Jakarta, turut mengundang Nirmala untuk tampil di sana.
Helena menyusul di belakang. Ia tiba tepat waktu, menyaksikan Nirmala bernyanyi membawakan lagu "You Raise Me Up" milik Josh Groban.
Binar mata Helena mengalihkan pandangan Chandra, lima deret bangku jauhnya. Hingga, Nirmala menuntaskan penampilannya.Â
Helena menyambut Nirmala di belakang panggung, "Nirmala, kau telah mengoyak ngoyak hatiku."
"Kak Helen, memang selalu galau," jawab Nirmala.
"Siapa bilang?" ujar Helena kaget.
Nirmala mengambil tongkat, dan berjalan menuju Ibu Monika. Iapun berkata, "Ibu Monika bilang, Kak Helen selalu termenung setiap memandang bulan."
"Ibu Monika hanya bergurau, Nirmala," jawab Helena seraya menatap tajam pada Ibu Monika.Â
"Aku rasa tidak. Tapi sejak ada Kak Chandra, Kak Helen terdengar ceria," ujar Nirmala santai.
"Eh, anak cantik tak boleh gosip," kembali Nirmala menatap Ibu Monika, kali ini dengan wajah seolah-olah ingin menangis.
Chandra yang berada di dekat Ibu Monika, berusaha menahan senyum. Iapun berjalan bersama Nirmala keluar area pentas.
"Helena, senang bertemu di sini."
"Janus, lama tak jumpa."Â
Helena bertemu dengan Janus, kenalan lama saat kuliah di Australia. Anak tunggal pengusaha tambang nikel, dan pemilik yayasan tunanetra.Â
Mereka terlihat mengobrol di lorong gedung, sampai kemudian pindah ke sebuah restoran tak jauh dari lokasi pentas. Pertemuan yang tak terduga.
"Aku mengira, tak ada gunanya menonton pentas anak tunanetra. Ternyata, aku bisa bertemu kamu. Ajaib," ucap Janus.
Tangan Janus berusaha menggenggam jemari Helena, dan ia berkata, "oh ya, aku menyesal soal Raka. Dan aku memaafkannya."
"Oh, begitu," ucap Helena, seraya menepis tangan Janus.
"Aku dengar, kamu banyak menghabiskan waktu di panti? sebutkan nominal, biar aku penuhi fasilitas panti," ucap Janus menawarkan bantuan.
"Untuk apa?" Jawab Helena, singkat.
"Untukmu, Helena," ujar Janus, penuh percaya diri.
"Kamu masih sendiri, aku ada untukmu. Ini takdir," lanjutnya.
"Kamu butuh minum obat, Janus," seru Helena.Â
Helena meninggalkan Janus yang kebingungan, padahal menu belum dipesan. Raut wajahnya tak begitu senang, ia berjalan terburu-buru.Â
Namun, langkahnya terhenti. Helena melihat Chandra terpaku di meja luar restoran. Ia sadar, Chandra memperhatikan dia dan Janus sejak tadi.
"Chandra, boleh aku bicara," sapa Helena.
"Aku siap mendengarkan," ucap Chandra, seraya tersenyum.
"Ini serius," gumam Helena.
Chandra beranjak dari tempat duduk, ia berkata, "aku juga serius sama kamu."
"Maksudnya?" Helena tersenyum kecil mendengar ucapan Chandra. Antara senang dan gelisah. Membuyarkan kata-kata yang tersusun dalam bibirnya.
Kembali Chandra berbicara, "Helena, aku serius sama kamu. Tapi, jika Janus lebih baik untukmu."Â
"Lebih baik?" Helena memotong ucapannya.
"Biarkan aku tuntas berbicara, ini harusnya dramatis," gumam Chandra.
"Aku yang mau bicara, Chandra," ketus Helena. Ia menarik nafas dan berlalu dari hadapan Chandra.
"Hei, mau kemana. Katanya mau bicara?" Panggil Chandra
Helena jauh meninggalkan Chandra, sesekali ia melambatkan langkahnya. Berharap Chandra mengejar dirinya. Namun sampai ia kembali ke panti, Chandra tak juga mengejar Helena.
"Helena, ibu kira malam ini kamu tidak menginap," tanya Ibu Monika.
"Pulang, Ibu Monika. Sekarang panti adalah rumahku," jawab Helena.
Helena terbaring di ranjangnya, dengan tatapan kosong ke atas langit-langit. Jemari Helena, meraih buku harian Raka di balik bantal.Â
Sambil menatap buku harian Raka, air mata mengalir sendu membasahi pipi. Helena berkata dalam hati.
Raka, aku harus bagaimana. Lelaki yang kuharap berjuang untukku, menyerah. Janus, aku bertemu dengannya. Aku mengingat jelas, tinjumu pada Janus waktu itu. Saat dia berusaha menggodaku. Dan saat ini, aku berharap melihatnya kembali.
Malam ini tak ada bulan, Raka. Purnama masih lama, dan aku tak henti mengenang dirimu.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
01/02/21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H