Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ampun, Bang Jago

29 Desember 2020   11:50 Diperbarui: 29 Desember 2020   11:57 1343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ampun, Bang Jago by Pixabay

PAGI yang cerah di Kampung Telen, daerah pinggiran Jakarta yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Ramai warga yang lalu lalang. Pergi bekerja, berbelanja atau sekedar berolahraga. 

Kampung Telen, adalah kampung padat penduduk. Dengan deretan kontrakan beraneka warna pintu. Hijau, biru, putih, pelangi, dan hitam kusam. 

Di salah satu kamar, hiduplah Jerry. Pemuda rantau yang sudah lama kehilangan pekerjaan. Jauh, sebelum pandemi melanda se-isi dunia.

Hingga Ayam Jantan berhenti berkokok, dan berganti riuh tawa ibu-ibu bergosip di depan lapak tukang sayur. Jerry, belum juga terbangun. Masih tertidur pulas, di kasur empuk. Di dalam kamar kontrakan yang baru dua bulan dihuni. Kontrakan Jerry ke sepuluh di tahun ini.

"Duh, cekak!" Ucapnya, saat terbangun dan sadar. Hari ini, ia harus membayar sewa. 

Namun, pengalaman adalah guru terbaik. Dan Jerry, sudah berpengalaman soal tunggak menunggak uang sewa kontrakan.

Siang itu, Jerry berdandan rapi sekali. Rambut mengkilap dan disisir ke kiri. Tak lupa, minyak wangi terbaik disemprotkan keseluruhan tubuh. Hingga tercium, sampai lima pintu jauhnya.

Entah, angin membawanya pergi kemana. Sebuah mobil colt angkutan semen, dia tumpangi. Kepunyaan Haji Toyib, pemilik toko material satu-satunya di kampung Telen. Dia menumpang di bak belakang.

Dalam benaknya. Sayang jika uang 200 ribu bantuan dari Pak RT, digunakan untuk ongkos. Toh dia hanya pergi malam mingguan ke rumah Siti. Perempuan yang dianggap pacar, sejak dua minggu lalu.

"Abang, kemana aja sih? Udah dua minggu ilang gitu aja!" Tanya Siti dengan gemas.

"Siti, udah dua kali ganti pacar. Abang ga nongol-nongol sih" lanjutnya.

Jerry tersenyum kecut, mendengar sambutan dari Siti. Meskipun sakit di telinga, Ia pasrah saja. Niatnya, malam ini hanya bersenang-senang dengan Siti. Diapun berkata, "Neng, sebagai permintaan maaf. Malam ini, kita makan di restoran."

Siti tak percaya. Sejak Jerry ketahuan berbohong, mengaku-ngaku rumah Haji Toyib sebagai rumahnya. Siti akhirnya mengetahui, Jerry hanyalah pengangguran. Bahkan terakhir kali mereka berkencan, uang Siti dipinjam dan tak pernah kembali.

"Abang, emang punya duit?" Tanya Siti, memastikan.

"Tenang, Neng. Aman itu." Jawab Jerry.

Siti kembali bertanya, "lah, motor Abang kemana?" 

"Lagi di bengkel, pake motor Neng aja ya." Jawab Jerry dengan cekatan. Padahal dia tahu, motornya sudah ditarik leasing. Di jalanan seminggu yang lalu.

Dengan berat hati, Siti akhirnya mau diajak makan di restoran. Tak jauh dari Margo City-Depok. Berharap Jerry benar-benar punya uang, minimal bisa membayar makanan dan tak bersiasat meminjam uangnya lagi.

Bagi Siti, Jerry adalah lelaki ganteng dan penurut. Meski berulang kali berbohong dan bila meminjam uang, tak pernah balik. 

Namun malam itu, sepertinya Siti harus tega pada Jerry. Penyebabnya tak lain dan tak bukan, adanya WhatsApp Chat dari mantan pacar Siti yang lebih ganteng dari Jerry. Yang pasti, dia lebih berduit dari lelaki yang tengah makan bersamanya malam ini.

Belum habis makanan yang dipesan, Jerry meminta ijin pada Siti untuk pergi ke kamar kecil. Menuntaskan hajat, yang tertahan sepanjang jalan.

Jalan keluar, sudah diatur yang di atas. Pikir Siti. Kala melihat kesempatan untuk pergi meninggalkan Jerry. Terlebih kunci motor, Jerry tinggalkan di atas meja. Senyum Siti mengembang.

Sementara itu, Jerry tengah berkaca di depan wastafel. Membayangkan malam minggu yang asyik bersama Siti. Hatinya berbunga-bunga, seperti hutangnya pada rentenir yang juga berbunga-bunga.

Uang 200 ribu, harus dapat dihemat dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Caranya, dengan memanfaatkan Siti untuk kesekian kalinya.

"Jangan sebut aku, Jerry. Kalau tak bisa bikin hati kamu meleleh, malam ini," ucapnya pada bayangan sendiri di dalam cermin.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Betapa kagetnya Jerry. Melihat Siti sudah tak berada di tempatnya. Kunci motor sudah tiada, begitupun tas mungil Siti. 

Sementara, senyum manis pelayan restoran sudah menyambut di depan meja. Lengkap dengan bill di tangan kiri dan kalkulator di tangan kanan. "Ado nasi tambah yo, Uda," ucapnya.

Melayang sudah, uang 200 ribu. Ditambah KTP, sebagai jaminan kekurangan bayar. Nasib baik, pemilik restoran memberi ongkos pulang. 20 ribu, karena kasihan melihat Jerry memohon dengan wajah memelas.

Dari Margo city, Jerry berniat naik kereta saja. Dan iapun berjalan kaki menuju Stasiun Pondok Cina. Langkahnya terasa berat, seberat hutangnya pada Bang Jago. Rentenir paling ganas se-Jabotabek. 

Terakhir kali, Jerry membayarnya dengan kartu BPJS Kesehatan. Setelah sukses menjaminkan kartu debit kosong.

Tiba-tiba, leher Jerry dipiting tangan kekar. Menariknya menuju belakang area pertokoan yang sepi. Mulutnya dibekap, sampai-sampai dia merasa pengap. Apa gerangan yang terjadi, pikirnya.

Tubuh Jerry, dihempaskan ke atas conblock. Membuatnya kesakitan, sekaligus kaget. "Aduhh."

"Ampun, Bang Jago." Terengah-engah, Jerry memohon.

"Mau lari kemana, hah!" Ucap Bang Jago.

"Bayar utang! Atau nyawa melayang," ancamnya.

"Lagi tipis, Bang," jawab Jerry.

"Tipis, apanya tipis?!" Sentak Bang Jago, seraya menarik Jerry, untuk berdiri.

Jerry mengeluarkan dompet dan berkata, "dompet, Bang." 

"Sini, dompetnya!" Pinta Bang Jago.

"Ini, Bang. Bentar ya, saya kebelet," ucap Jerry. Terlihat membuka resleting celananya. Dan buru-buru berlari ke sebuah gang di antara deretan pertokoan tersebut.

"Aduh, kebangetan si Jerry!" Omel Bang Jago. Setelah melihat isi dompet buruannya tersebut.

Sambil membanting dompet Jerry, ia berkata," dompet dekil, isi dua rebu perak!"

Saat mengetahui Jerry sudah kabur, Bang Jago hanya bisa menggaruk-garuk kelapa plontosnya. Tak habis pikir, ada manusia sejenis Jerry. Licin seperti belut, tahan banting dan pintar berkelit.

Kejadian malam itu, cukup menguras pikiran, nyali dan energi. Jerry, langsung ambruk di kasur kumal. Berbaring dan berkhayal, kadang senyum-senyum sendiri.

Dalam hati, berkata, "besok, makan apa ya? Mana Mpo Yayah, libur jualan."

"Mudah-mudahan, besok ada rejeki. Masa iya, Tahun Baru kantong kosong," ucap Jerry. Tatapannya lurus, memandang langit-langit kamarnya yang sudah bolong-bolong.

Tak jauh dari pintu kamar kontrakan Jerry. Bapak RT dan beberapa warga, terlihat berkerumun. Nampak Pak RT sedang memberi pengumuman, suaranya keras dan lantang.

"Buat warga yang lagi nganggur, besok ada penyuluhan di bale desa. Bawa KTP aja, udah bisa dapet bantuan bikin usaha ternak lele."

Namun, Jerry sudah bermimpi dalam tidurnya. Ia bermimpi, bagaimana rasanya hidup senang tanpa hutang dan teror bang jago. Dan yang pasti, tanpa harus bersusah payah bekerja. Mustahal bin mustahil. 

Masalah lama di Tahun Baru, adalah kemalasan. Di samping status jomlo dan hutang yang belum juga lunas. Menekuk resolusi paling canggih sekalipun. Ke dalam bayang-bayang kegagalan.

Dalam mimpi pun, Jerry merasa gelisah. Memilih dan memilah, pekerjaan apa yang cocok untuknya.

****

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian 12/29/20

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun