Jalan keluar, sudah diatur yang di atas. Pikir Siti. Kala melihat kesempatan untuk pergi meninggalkan Jerry. Terlebih kunci motor, Jerry tinggalkan di atas meja. Senyum Siti mengembang.
Sementara itu, Jerry tengah berkaca di depan wastafel. Membayangkan malam minggu yang asyik bersama Siti. Hatinya berbunga-bunga, seperti hutangnya pada rentenir yang juga berbunga-bunga.
Uang 200 ribu, harus dapat dihemat dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Caranya, dengan memanfaatkan Siti untuk kesekian kalinya.
"Jangan sebut aku, Jerry. Kalau tak bisa bikin hati kamu meleleh, malam ini," ucapnya pada bayangan sendiri di dalam cermin.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Betapa kagetnya Jerry. Melihat Siti sudah tak berada di tempatnya. Kunci motor sudah tiada, begitupun tas mungil Siti.Â
Sementara, senyum manis pelayan restoran sudah menyambut di depan meja. Lengkap dengan bill di tangan kiri dan kalkulator di tangan kanan. "Ado nasi tambah yo, Uda," ucapnya.
Melayang sudah, uang 200 ribu. Ditambah KTP, sebagai jaminan kekurangan bayar. Nasib baik, pemilik restoran memberi ongkos pulang. 20 ribu, karena kasihan melihat Jerry memohon dengan wajah memelas.
Dari Margo city, Jerry berniat naik kereta saja. Dan iapun berjalan kaki menuju Stasiun Pondok Cina. Langkahnya terasa berat, seberat hutangnya pada Bang Jago. Rentenir paling ganas se-Jabotabek.Â
Terakhir kali, Jerry membayarnya dengan kartu BPJS Kesehatan. Setelah sukses menjaminkan kartu debit kosong.
Tiba-tiba, leher Jerry dipiting tangan kekar. Menariknya menuju belakang area pertokoan yang sepi. Mulutnya dibekap, sampai-sampai dia merasa pengap. Apa gerangan yang terjadi, pikirnya.
Tubuh Jerry, dihempaskan ke atas conblock. Membuatnya kesakitan, sekaligus kaget. "Aduhh."