DESEMBER tahun lalu, saat bulir-bulir air hujan berkejaran dengan rutinitas masyarakat kota Jakarta.
Sore itu, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan, pekerjaan yang menjajakan sebuah harapan kosong pada nasabah-nasabah yang polos.
Kemudian berbagi data pribadi mereka untuk ditukar secangkir kopi hangat, atas nama solidaritas semenjana pada meja kedai yang berdebu di sudut jalan.
Dan rasanya seperti mengiris tipis jiwaku sendiri, karena selama bertahun-tahun berusaha membidik target yang tak pernah bisa diraih.
Maaf Boss, aku sudah muak dengan janji-janji bonus yang tak pernah sampai menyentuh rekeningku.Â
Dan lebih dari itu, aku pun tak mengharapkan lagi gaji yang selalu datang terlambat dengan segala potongan tetek bengek.
Lantas, bagaimana soal cinta?
Ah sudahlah, terlalu banyak kisah sedih akibat pekerjaan ini yang menghantam sisi romantisme dalam hidupku.
Lamunanku menerawang pada masa lalu, masa dimana tekad masih membara dan mimpi akan kesejahteraan yang membawaku merantau ke Jakarta.
Dan halte ini, satu-satunya tempat yang menyambut kedatanganku dari Lampung dahulu, saat pertama kali menjejakkan langkah di ibu kota.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!