Karawang, 10 November 1947
Malam itu, rangkaian gerbong kereta melintas dari arah Bekasi melewati stasiun Karawang, mengangkut amunisi dan perbekalan logistik tentara NICA yang sudah lebih dulu berkonvoi ke wilayah Jawa barat.
Dibalik keheningan malam, terlihat ada sosok yang mengendap-endap diantara peti-peti pada salah satu gerbong kereta tersebut.
Saat melintasi Cikampek, lampu stasiun yang menyorot pada gerbong itu menangkap sesosok bayangan lain, dan sosok itu pun kembali hilang bersama deru roda kereta yang melaju lebih cepat.
"Dari kesatuan mana kamu?" Tanya sosok pertama, seraya menodongkan pistol pada sosok kedua.
"Kesatuan?, aku anggota Laskar Haji Kipli!" Sosok kedua itu menjawab sambil berbisik.
"Sedang apa kamu disini" lanjutnya.
"Lah kamu sedang apa?" Jawab sosok tersebut, seraya menyelipkan pistol pada pinggangnya.
Dalam remang cahaya, mereka saling berpandangan dan menyadari bahwa kondisi gerbong tersebut sudah berantakan, dengan peti-peti yang sudah terbuka.
Tak menunggu lama, kedua sosok tersebut melompat keluar gerbong kereta bersama-sama, mendarat di hamparan rerumputan ditepi sawah.
Terlihat keduanya berjalan bersama menuju perkampungan terdekat, sambil menenteng sepucuk senapan yang ditemukan pada gerbong kereta, sosok itu memulai pembicaraannya.
"Aku mau ambil senapan sama pelornya disana! Kemana hilangnya?!" Ucapnya berseru.
Seseorang yang ikut turun tadi, yang hanya berjalan dengan tangan kosong pun menjawab, "mana ku tahu! Saat aku naik, gerbong itu sudah acak-acakan, senapan sama pelornya sudah raib dan tinggal itu yang kau pegang."Â
"Kenalkeun namaku Acung, Askar!" lanjutnya sambil mengulurkan tangan.
"Rusli," jawab seseorang dengan senapan pada punggungnya.
"Askar? Laskar mereun," lanjutnya heran.
"Asli Karawang!" Jawab Acung sambil tersenyum.
"Sarua saya ge!!" Ucap Rusli, setelah menarik napasnya dalam-dalam.
Rusli dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa gerbong berisi logistik dan perbekalan serdadu NICA sudah berantakan, mungkin Kapten Lukas sudah lebih dulu naik digerbong itu, beliau memang jempolan soal aksi sabotase pada serdadu NICA pikirnya.
Rusli melemparkan senapan yang dibawanya pada Acung, dan berkata, "ambil senapan ini, aku butuh orang buat besok malam!"
"Kemana?" Tanya Acung.
Rusli yang mengambil langkah berputar menjauhi kampung, sebelum berlalu meninggalkan Acung, diapun berkata, "nanti kamu akan tahu, kita ketemu jam 12 malam di leuweung sereuh."
"Siap!!" teriak Acung dari kejauhan.
Kedua orang itu pun berpisah jalan, sebelum jauh memasuki perkampungan penduduk.
**
Perlawanan terhadap sekutu dan tentara NICA terus berkecamuk di berbagai wilayah Jawa barat, pertempuran dan bentrokan kecil acap kali meletus disetiap sudut wilayah.
Tentara Nasional Indonesia dan Laskar-laskar rakyat, bahu membahu menahan laju aksi agresi militer tentara kerajaan Belanda dari segala penjuru Karawang - Bekasi.
Malam itu seperti yang sudah dijanjikan, Acung datang dengan sepucuk senapan dan dua buah pistol yang menggantung di pinggangnya, berdandan persis seperti cowboy dalam film-film Hollywood.
"Ku kira kamu tak akan datang," sambut Rusli dengan tatapan heran, melihat Acung datang dengan dandanan nyentrik.
Satu pasukan Tentara Nasional Indonesia sudah beranjak dari tempat tersebut, berjalan kearah kota secara diam-diam, sementara Acung dan Rusli berjalan menyusul dibelakang.
"Kamu pasti mau serang pos serdadu NICA di Kosambi, Mana bisa aku tolak!" Ucap Acung setengah berbisik pada Rusli.
Dini hari sebelum adzan subuh berkumandang, rentetan mortir dan senapan terdengar memecah keheningan pada sebuah pos penjagaan NICA dibatas wilayah Kosambi dan Cikampek.
Pertempuran pecah dengan hebatnya, delapan pasukan kerajaan Belanda harus menemui ajalnya, sementara yang lain bersimbah darah.
Pasukan Tentara Nasional Indonesia melakukan serangan kilat yang efektif dan bergegas mundur berpencar, memisahkan diri agar sulit dikejar oleh bala bantuan NICA.
Acung yang terkena serpihan mortir pada kuping kirinya melambatkan langkahnya, dan Rusli pun ikut melambatkan langkahnya berjalan disamping Acung, lalu mereka mulai bercengkrama dengan akrab hingga tertawa-tawa.
"Aku maklum kamu bukan tentara, tapi lain kali jika aku teriak berhenti menembak, jangan menembak terus, kan sayang pelornya!" Ucap Rusli kepada Acung.
"Aku ganti nanti pelornya sekalian kuberikan senapan, ditempat Babah Liong masih banyak persediaan, barang baru! Diangkut dari Angke, Made in Soviet!" Jawab Acung, yang masih sibuk menyeka darah dari telinga kirinya dengan baju.
"Bukan begitu!, ah kumaha maneh lah" gumam Rusli, sambil mempercepat langkahnya meninggalkan Acung.
Mereka pun berpisah dipersimpangan jalan, Acung kekiri kearah Pancawati dan Rusli kekanan kearah cibalong sari.
"Nanti, ajak aku lagi ya, Rus!!" Teriak Acung sambil melambaikan tangan.
"Salam buat Maemunah komandan rumah, hahahaha" suara dan tawa Acung kembali bergema diantara rimbun pepohonan dipinggir sungai Citarum.
Satu bulan kemudian..
"Rus, aku sudah keluar dari laskar, mau gabung saja dengan kamu, ikut jadi tentara saja," ucap Acung, yang tiba-tiba muncul ikut duduk bersama Rusli dipinggir hutan, sebelum jalan masuk Desa Rawa Gede.
"Kenapa keluar cung? Mau laskar atau tentara kan sama tujuannya merdeka" tanya Rusli.
"Bubar!, Pak Kipli sudah tertangkap NICA tak ada pemimpin, rekan-rekan ada yang ikut Hizbullah, Jawara, lain-lain aku tak kenal, seragam pun tak dapat," jawab Acung sambil mengeluarkan pistol dari pinggangnya.
"Ah kamu ini, kenapa bukan kamu saja yang menggantikan" kembali Rusli bertanya.
"Mana bisa aku memimpin, jika sudah menyerang mana mau aku mundur, kecuali Haji Kipli yang suruh" jawab Acung, sementara tangan kirinya terlihat mengambil sebatang rokok.
"Rokok darimana itu, Cung?" Tanya Rusli yang melihat Acung tengah memilin-milin rokok ditangan.
"Nih buat kamu yang sudah puntung saja, Rus" jawab Acung, sambil memberikan salah satu rokok puntung dari saku celananya.
"Enak juga, kamu curi dari siapa?" Ucap Rusli.
"Sembarangan omong, itu rokok puntung rampasan perang dari serdadu NICA yang mayatnya kamu buang di Walahar malam tadi," jawab Acung.
"Astagfirullah," ucap Rusli dengan wajah lemas.
Teringat kembali olehnya cerita seminggu yang lalu, saat bersama Acung menculik dan menghabisi dua serdadu NICA yang terpisah dari pasukannya didaerah Rawamerta.
Acung memungut tanda pangkat Rusli yang terjatuh ditanah, dalam hatinya kagum menyadari jika rekannya tersebut ternyata berpangkat Letnan, diapun lalu memasukkan tanda pangkat itu pada kantung bajunya tanpa berkata apapun.
Saat Acung baru saja membakar rokok, terlihat konvoi serdadu-serdadu NICA kian mendekat, dengan menggunakan Truck dan Jeep mereka melaju menuju arah desa Rawa Gede.
Letnan Rusli yang menyadari hal itu berkata pada Acung, "Acung, tiarap!"
Acung pun mematikan rokok ditangan dan memasukkan puntung rokok tersebut kedalam kantung bajunya, kemudian mengambil tempat tiarap disamping Letnan Rusli.
"Waduh, banyak betul serdadu!" Ucapnya sambil melongo.
"Letnan Rusli! Mundur! Perintah komandan!" terdengar dari jauh seseorang memanggil, setelah jauh iring iringan konvoi NICA berlalu.
Pasukan yang bersiaga bersama Letnan Rusli perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, Acung dan lima tentara Nasional Indonesia lainnya pun bangkit berdiri.
Acung dan Letnan Rusli saling bertatapan, lima orang Tentara Nasional yang hendak pergi pun menghentikan langkahnya.
Pikiran Acung dan Letnan Rusli seperti terkoneksi satu sama lain, hendak mengganggu iringan konvoi NICA dengan senjata seadanya.
Mereka pun bergerak dengan cepat kearah hutan, memotong jalan menuju batas desa Rawa Gede untuk mencegat konvoi NICA.
"Tanggal berapa ini, Rus?" Acung bertanya pada Letnan Rusli.
" Tanggal Sembilan Desember, kenapa?" Jawab Letnan Rusli.
" Istriku ulang tahun tiga hari lagi" ucap Acung, sambil mengambil kembali rokok dari dalam kantung bajunya.
"Ah kau, takut istri juga rupanya" jawab Letnan Rusli sambil terkekeh.
"Rus, apa bener negeri kita sudah merdeka seperti pidato Bung Karno di Jakarta?" Tanya Acung dengan nada serius.
Iring iringan konvoi NICA sudah tak jauh dari tempat mereka, nahas seorang serdadu NICA menyadari kehadiran Letnan Rusli dan pasukan kecilnya tengah bersembunyi didepan mereka.
"Cung, bersiap!" Teriak Letnan Rusli, menyadari keberadaan mereka sudah diketahui.
Rentetan desing peluru berhamburan menghujani pasukan kecil Letnan Rusli yang hanya berlindung dibalik pohon, dibalas tembakan senapan dan pistol seadanya.
Pertempuran yang tak seimbang terjadi dengan hebat, namun pasukan Letnan Rusli tak sedikitpun gentar dan melangkah mundur.
"Rus! Kamu mundur saja! Peluru kalian sudah habis!" Teriak Acung yang tengah berlari menerjang hujan peluru pasukan NICA.
"Cung, jangan nekat !!!" Teriak Letnan Rusli, yang menahan lemas karena terkena tembak pada paha dan bahu kirinya.
"Rusliiii, Merdeka atau mati!!!!!" Teriakan Acung terdengar menggema diantara rentetan mortir pasukan NICA.
Hingga peluru terakhir, terdengar meletus dari pistol ditangannya.
"Cung!! Acung!!!" Teriak Letnan Rusli yang tengah dibopong oleh dua rekannya, mereka terlihat meninggalkan lokasi pertempuran dan menghilang dibalik kepulan asap sisa-sisa letusan amunisi dihari itu.
Pasukan serdadu NICA menghentikan aksinya, hingga seseorang berbadan tinggi dan tegap mengambil tanda pangkat dari kantong baju Acung dan tersenyum, mengira telah melumpuhkan seorang perwira berpangkat Letnan Tentara Nasional Indonesia.
Tapi tak lama, sosok itu terlihat memandang sinis pada Acung yang sudah terbujur kaku, sampai kemudian jasadnya diangkut naik kedalam salah satu truk serdadu tersebut.
Mereka pun melanjutkan konvoi memasuki Desa Rawa Gede.
Karawang, 10 November 2020
Seorang veteran tampak sedang berlutut dengan kedua tangannya memegang sebuah batu nisan, dibawah batu nisan tersebut terlihat topi baja yang sudah berlumut.
"Cung, negara kita sudah beneran merdeka, anak cucumu hidup sejahtera dikasih bantuan sama pemerintah, dikasih uang denda sama ratu Belanda, dan kamu sudah jadi pahlawan sekarang." Ucap Letnan(Purn.) Rusli, yang saat ini sudah berusia lanjut.
"Cung, maafkeun aku cung..maafff," Letnan(Purn.) Rusli tak dapat melanjutkan kata-katanya, kini tenggelam dalam tangis kesedihan yang amat sangat.
Seorang anak perempuan mendekati beliau dengan langkah mungilnya, bersandar tepat pada bahunya dan dengan manja berkata,
"Abah, ini makam siapa?, Abah kenapa nangis" ucap anak kecil tersebut.
Letnan (Purn.) Rusli tidak menjawab, buru-buru beliau menyeka air matanya yang tumpah membasahi pipinya yang sudah keriput dan penuh bekas luka.
Dengan kedua tangannya yang renta, beliau mencoba mengendong cucunya sambil memeluk dengan kasih sayang dan haru, teringat Acung yang tidak punya kesempatan yang sama dengan dirinya.
Pikirannya menerawang, pada masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan bersama-sama mengangkat senjata.
Hingga dari kejauhan, terlihat sebuah mobil Carry Futura tua membawa Letnan (Purn.) Rusli dan keluarga, meninggalkan halaman Taman Makam Pahlawan Pancawati sore itu.
***
Terinspirasi dari Peristiwa Rawa Gede, 09 Desember 1947 dan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Lukas Kustaryo.
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat adalah kebetulan semata tanpa unsur kesengajaan.
Beribu-ribu hormat pada seluruh pahlawan bangsa yang telah gugur dimedan juang, berikut dengan para veteran perang kemerdekaan yang masih ada bersama kita hingga saat ini.
Untuk para pendahulu, kakek,nenek, ayah, ibu dan saudara sebangsa dan setanah air.
Selamat Hari Pahlawan, 10 November 2020.
(Indra Rahadian 11/08/2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H