Pertempuran pecah dengan hebatnya, delapan pasukan kerajaan Belanda harus menemui ajalnya, sementara yang lain bersimbah darah.
Pasukan Tentara Nasional Indonesia melakukan serangan kilat yang efektif dan bergegas mundur berpencar, memisahkan diri agar sulit dikejar oleh bala bantuan NICA.
Acung yang terkena serpihan mortir pada kuping kirinya melambatkan langkahnya, dan Rusli pun ikut melambatkan langkahnya berjalan disamping Acung, lalu mereka mulai bercengkrama dengan akrab hingga tertawa-tawa.
"Aku maklum kamu bukan tentara, tapi lain kali jika aku teriak berhenti menembak, jangan menembak terus, kan sayang pelornya!" Ucap Rusli kepada Acung.
"Aku ganti nanti pelornya sekalian kuberikan senapan, ditempat Babah Liong masih banyak persediaan, barang baru! Diangkut dari Angke, Made in Soviet!" Jawab Acung, yang masih sibuk menyeka darah dari telinga kirinya dengan baju.
"Bukan begitu!, ah kumaha maneh lah" gumam Rusli, sambil mempercepat langkahnya meninggalkan Acung.
Mereka pun berpisah dipersimpangan jalan, Acung kekiri kearah Pancawati dan Rusli kekanan kearah cibalong sari.
"Nanti, ajak aku lagi ya, Rus!!" Teriak Acung sambil melambaikan tangan.
"Salam buat Maemunah komandan rumah, hahahaha" suara dan tawa Acung kembali bergema diantara rimbun pepohonan dipinggir sungai Citarum.
Satu bulan kemudian..
"Rus, aku sudah keluar dari laskar, mau gabung saja dengan kamu, ikut jadi tentara saja," ucap Acung, yang tiba-tiba muncul ikut duduk bersama Rusli dipinggir hutan, sebelum jalan masuk Desa Rawa Gede.