Syahdan di tepi kampung dibatas perkebunan sawit, terdapat sebatang pohon beringin yang sudah berusia sangat tua, akar-akarnya menjalar sangat panjang lagi besar, daunnya rimbun ditopang dahan-dahan yang cukup besar.
Namun sungguh sayang, beberapa bagian pohon beringin tua sudah habis dimakan rayap.
Seiring matahari terbit yang kian naik diatas kepala, kabut asap perlahan-lahan menghilang dari pandangan, sejauh mata memandang terhampar perkebunan sawit nan luas membentang.
Siang itu, ditepi kampung asri dibatas perkebunan, pohon beringin tua tak henti-hentinya bergoyang seperti tengah merasa geli, membuat Bue si burung hantu yang bersarang diatas pohon beringin tua terbangun dari tidurnya.
"Aduh..geli..geli," ujar beringin tua yang merasa kegelian.
"Ada apa hai beringin tua," Bue si burung hantu bertanya penasaran.
Sambil menahan geli, pohon beringin tua pun menjawab, "burung-burung kecil itu mematuk-matuk pada dahanku, Bue."
Bue menutup kembali matanya, seraya berkata, "mereka sedang makan ulat-ulat yang ada dahanmu, tak perlu resah karena itu untuk kebaikanmu juga hai beringin tua."
"Oh benarkah itu, baiklah Bue." Ucap beringin tua yang merasa tenang dengan jawaban Bue.
Beringin tua sangat nyaman mendengarkan apapun yang disampaikan oleh Bue si burung hantu, kata-kata bijak dan sikap tenangnya sudah menemani pohon beringin tua selama bertahun-tahun.
"Hus hus geliiiii, apa lagi ini Bue," ujar beringin tua yang kembali bergoyang goyang kegelian.
Boe perlahan membuka matanya dan memutar-mutar lehernya, lalu bertanya, "kenapa lagi, hai beringin tua."
Beringin tua menjatuhkan salah satu rantingnya kebawah tepat disalah satu akarnya, kemudian berkata.
"Tikus-tikus itu merayap diantara akar-akarku, Bue."
Bue pun tak menanti lama, mangsanya sudah mendekat bahkan sebelum waktu makannya tiba.
"Yummy.. sudah ku atasi, hai beringin tua," ucap Bue yang baru saja selesai menikmati mangsanya.
"Darimana datangnya tikus-tikus itu, akankah mereka kembali, Bue?" Beringin tua bertanya dengan khawatir.
"Tak perlu risau hai beringin tua, aku sudah memangsa salah satu dari mereka," jawab Bue memenangkan beringin tua.
"Tikus-tikus itu adalah mangsa ular-ular, biasanya mereka tak sebanyak itu, namun sejak ular-ular banyak ditangkap manusia dan tak lagi punya tempat bernaung, ya tikus semakin banyak berkembang biak," lanjut Bue.
Malam sudah menjelang dan Bue yang masih lapar segera terbang mencari mangsa, meninggalkan pohon beringin tua sendiri ditengah kegelapan malam yang sepi.
Pohon beringin tua melihat jauh kearah perkampungan manusia, melihat beberapa pohon yang tumbuh rimbun diantara rumah-rumah.
Pagi akan segera menyapa, terlihat beberapa manusia membawa tongkat panjang dengan sebilah parang pada ujungnya, melintasi pohon beringin tua menuju perkebunan sawit untuk mulai mengambil buah sawit yang telah masak.
Bue yang hinggap pada beringin tua, tak lama setelah manusia tersebut melintas, bertanya pada beringin tua yang terlihat bermuram durja.
"Kenapa kau bermuram durja hai beringin tua," ucapnya.
Beringin tua mulai berkeluh pada Bue si burung hantu, dan mulai bercerita.
Lihatlah, pohon-pohon didepan rumah manusia betapa bahagianya mereka, sedangkan aku, tak ada anak anak manusia yang bermain disekitarku dan tak ada yang merawatku.
Semua manusia takut mendekatiku, mereka menebangi kami dan menggantinya dengan pohon sawit yang lebih berguna untuk mereka.
Padahal saat kekeringan melanda, akar dan dahanku paling banyak menyimpan air, dahulu manusia membuat sumur air didekat ku.Â
Sekarang, setelah air-air mengalir melalui pipa besi, mereka tak pernah lagi berkunjung mengambil air, sampai-sampai akar-akarku menghancurkan sumurnya, mereka tak perduli.
"Bukankah, seringkali ada manusia yang datang menyalakan kemenyan didepanmu hai beringin tua," tanya Bue memotong cerita pohon beringin tua.
"Aku sudah lama tidak menjumpai mereka lagi hai Bue," beringin tua menjawab dengan sedih.
"Bue bisakah kau terbang dan melihat, apakah masih ada pohon beringin lain disekitar hutan sawit ini," lanjut beringin tua meminta.
"Hanya kau satu satunya yang tersisa, berada tepat dibatas desa dan hutan sawit hai beringin tua, karena pohon beringin dibalai desa sudah ditebang diganti pohon-pohon berbunga, " jawab Bue yang enggan terbang.
Pagi itu matahari urung menampakan diri, semilir angin yang berhembus membawa awan hujan nan hitam pekat.
Hujan yang deras menyusul kemudian, Bue berlindung pada dahan yang rimbun dedaunan diatas beringin tua.
Bue yang bersiap untuk menutup matanya, terkejut dengan getaran demi getaran pada pohon beringin tua.
Bunyi petir bersahutan memecah kegelapan ditengah hujan yang semakin deras, semakin menambah keresahan pada hati Bue si burung hantu.
"Bue, tolong aku.. rayap dalam tubuhku sudah sangat menyakitkan," teriakan pohon beringin tua samar terdengar.
Bue pun terbang mematuk-matuk rayap pada batang pohon beringin tua, namun paruhnya tak dapat mengambil barang satu rayap pun juga, kemudian berkata, "Aku tidak bisa memakan rayap ini hai beringin tua, trenggiling yang biasa membantumu memakan rayap sudah lama hilang dari sini ditangkap manusia."
Angin yang berhembus kencang menghantam pohon beringin tua dari arah tenggara, dan petir pun menyambar seketika setelahnya.
Pohon beringin tua roboh, dan Bue yang terlambat menghindar pun terpelanting terkena ranting pohon beringin tua.
Tamatlah riwayat pohon beringin tua, yang menderita dimakan rayap hingga tak kuasa lagi menahan angin dan hujan lebat.
Waktu berlalu, kini Bue kembali terlihat dalam kegelapan entah dimana.
Mata Bue berkaca-kaca dengan tatapan kosong dalam kegelapan, kemudian diapun berkata dengan lirih.
"Mahluk yang dapat berjalan dengan kaki, tangan dengan tubuhnya atau terbang dengan sayap dan berenang didalam air, tidak seperti pohon yang menerima nasib tertanam ditempatnya, tanpa bisa memilih untuk pergi mencari penghidupan baru."Â
"Anak-anak manusia, kalian bukan pohon yang jika tidak nyaman harus tetap tinggal bukan?" Lanjutnya.
Petuah Bue si burung hantu, terdengar sendu dari dalam sangkar besar, kini Bue si burung hantu terpasung dengan rantai besi pada sebelah kakinya.
"Tunas-tunas pohon beringin akan tumbuh, semoga tak layu sebelum berkembang." Ucap bue si burung hantu mengakhiri.
Kasihan Bue....
Indra Rahadian (10/03/20)
Populasi burung hantu terancam punah oleh perburuan.
Populasi pohon beringin kian menyusut karena pembukaan lahan untuk perkebunan, industri dan pemukiman.
Pohon yang menjadi lambang pengayoman dan lambang salah satu partai di Indonesia, kini jarang dijumpai dihalaman gedung pemerintahan.
*Referensi dongeng anak sebelum tidur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H