Pagi akan segera menyapa, terlihat beberapa manusia membawa tongkat panjang dengan sebilah parang pada ujungnya, melintasi pohon beringin tua menuju perkebunan sawit untuk mulai mengambil buah sawit yang telah masak.
Bue yang hinggap pada beringin tua, tak lama setelah manusia tersebut melintas, bertanya pada beringin tua yang terlihat bermuram durja.
"Kenapa kau bermuram durja hai beringin tua," ucapnya.
Beringin tua mulai berkeluh pada Bue si burung hantu, dan mulai bercerita.
Lihatlah, pohon-pohon didepan rumah manusia betapa bahagianya mereka, sedangkan aku, tak ada anak anak manusia yang bermain disekitarku dan tak ada yang merawatku.
Semua manusia takut mendekatiku, mereka menebangi kami dan menggantinya dengan pohon sawit yang lebih berguna untuk mereka.
Padahal saat kekeringan melanda, akar dan dahanku paling banyak menyimpan air, dahulu manusia membuat sumur air didekat ku.Â
Sekarang, setelah air-air mengalir melalui pipa besi, mereka tak pernah lagi berkunjung mengambil air, sampai-sampai akar-akarku menghancurkan sumurnya, mereka tak perduli.
"Bukankah, seringkali ada manusia yang datang menyalakan kemenyan didepanmu hai beringin tua," tanya Bue memotong cerita pohon beringin tua.
"Aku sudah lama tidak menjumpai mereka lagi hai Bue," beringin tua menjawab dengan sedih.
"Bue bisakah kau terbang dan melihat, apakah masih ada pohon beringin lain disekitar hutan sawit ini," lanjut beringin tua meminta.