Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tulah: Teror Berlumur Darah

4 Oktober 2020   10:12 Diperbarui: 4 Oktober 2020   10:24 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di desa ijoroyo, ramai berhembus isue adanya kunyang, hantu yang konon berasal dari praktek ilmu hitam, membuat para penduduk takut keluar malam, pengajian anak-anak desa, yang biasanya dilaksanakan sehabis magrib, kini diadakan pada sore hari, karena ibu-ibu takut anaknya menjadi korban.

Petang itu, amir dan pak darmo sedang menggarap kebun singkong, disamping desa ijoroyo, hamparan perkebunan yang luas dilereng bukit, ditanami aneka palawija dan pohon beranekaragam, disebelah timur hutan luas membentang.

Hingga lewat pukul enam tiga puluh sore, suasana sepi diiringi bunyi jangkrik merambat gelap, namun obrolan-obrolan disela aktivitas mereka belum juga usai.

"Pak, kapan bapak mau nikahin emak saya?." Tanya amir sambil mencabut cangkul pada tanah didepannya.

"Sabar mir, kebun ini kan belum laku". Jawab pak darmo enteng.

Amir meletakkan cangkulnya dan mengambil kendi, minum agak terburu-buru, sampai-sampai airnya tumpah membasahi badannya sendiri.

Sedikit gelagapan, amir kembali bertanya, "emak saya tak butuh uang pak, cukup surat, biar tak malu, terus menerus jadi gunjingan tetangga".

"Aku sama emakmu mau pindah dari desa ini mir, nah... kamu, nanti yang urus rumah penginggalan bapak mu". Jawab pak darmo.

Pak darmo pun melepas lelah, mengelap keringat dikeningnya, lalu duduk sembari mengipas-ngipas capingnya.

"Emakmu yang mau, kebetulan anakku dikota sudah sukses, dia bantu carikan rumah disana, makanya aku jual kebun ini mir, kalau ada sisa, buat modal berdagang". Kata pak darmo melanjutkan.

"Aku saja tak betah merantau pak, orang udah tua ngapain ke kota pak, bukannya lebih tentrem hidup didesa?". Tanya amir

"Asalnya aku ini pedagang sukses lo, jadi petani karena bangkrut, tempatku dikota mir, nih hapeku saja Nokia 3310". Jawab pak darmo, sambil memperlihatkan handphone dari saku celananya, yang digantung didahan pohon.

"Hape bapak tak pernah bunyi, mending beli kambing saja lebih berguna pak". Ketus amir.

Sadar handphonenya sudah bangkai, pak darmo tak menanggapi celoteh amir, malah segera menyalakan rokok.

"Katanya, kamu kasian emakmu jadi gunjingan, makanya pindah saja sekalian, akupun tak mau si sapto itu, terus terusan ikutan godain emakmu". Lanjut pak darmo.

"Sapto madu pak? Kemarin, dia baru kasih emak satu botol madu, baru kemaren". Ujar amir.

"Tuh kan!!" Imbuh pak darmo sambil membanting rokok ditangannya, matanya melotot, urat lehernya hampir keluar, terlihat sekali menahan kesal.

"Sudah magrib pak, aku mau pulang, kasian emak dirumah sendirian". Ucap amir, sambil membersihkan cangkul, parang dan memasukkan kendi minumnya kedalam karung.

Masih dengan mata melotot, pak darmo bersungut-sungut "awas saja si sapto nanti!". Ketusnya.

--------

"Tolooong.. tolong..tolong...." sayup-sayup terdengar suara dari dalam hutan, tak lama suara itu berganti dengan teriakan-teriakan yang semakin keras, beberapa saat hingga hening seketika.

"Itu suara orang kan pak!! Ada apa ya!?". Penasaran, amir meletakkan karung berisi cangkul dan parang, tanpa pikir panjang, kemudian amir berlari kearah hutan.

"Tunggu mir, tunggu !". Pak darmo mengejar amir yang berlari didepannya.

Terengah-engah, mereka berdua berhenti dibibir hutan, suasana sudah mulai gelap, beruntung, bulan purnama bersinar sempurna, cukup membantu amir dan pak darmo mencari asal suara.

"Dari sini pak tadi suaranya pak, aku yakin" ujar amir sambil menyeka keringatnya.

Belum sempat pak darmo menjawab, kedua bola mata amir terbelalak, dikejutkan dengan tubuh tergolek lemas penuh luka, bersimbah darah dibawah pohon.

"Masya Allah!!.. pak sapto!!!" Teriak amir yang panik melihat pak sapto yang terkulai seperti mayat.

Tampak ember dan botol-botol madu milik pak sapto berantakan, madu yang dikumpulkan pak sapto tercecer dan berhamburan, bercampur darah yang mengucur dari tubuhnya.

Sementara itu, dari balik remang cahaya dan rimbunan pepohonan, sepasang mata menatap tajam, sorot mata yang menyala, seakan siap menerkam mangsa.

"Ini mesti binatang mir, biadab betul ini". Ujar pak darmo, yang meski panik berusaha mendekati tubuh pak sapto yang terkulai bersimbah darah.

"Mir masih napas dia, mir!" Teriak pak darmo, sembari mengangkat badan pak sapto.

"Bawa ke puskemas pak, ayo cepat, sebelum terlambat!". Ucap amir yang membantu membopong tubuh lemas pak sapto.

Mereka membopong tubuh pak sapto, meninggalkan hutan, menuruni lereng bukit yang gelap, bergegas menuju desa.

Sekelebat bayangan, seakan mengikuti mereka, mengawasi, kemanapun langkah mereka pergi.

-------

Dengan napas tersengal-sengal, amir dan pak darmo berhenti dibatas desa, disebuah pos kamling yang sudah tua dan tak terawat.

Dinding kusam dan atap genting bobrok berserakan, menandakan pos kamling tersebut tak lagi digunakan, suasana kian mencekam, saat suara burung kedasih terdengar dari kejauhan, seperti tawa kuntilanak yang samar-samar.

Hari mulai pekat dan suasana sepi desa ijoroyo menjadi hal yang lumrah menjelang matahari tenggelam, lampu-lampu penerangan jalan sangat minim, yang ada terpasang pun rusak tak lagi menyala.

"Mir berhenti dulu mir, bapak cape". Ucap pak darmo kepada amir, sembari melepaskan bopongan, pak darmo mengelap tangannya pada tembok pos kamling, lengketnya madu dan darah membuatnya risih.

"Mudah mudahan ada kendaraan yang lewat pak, aku juga sudah cape". Ujar amir.

"Sebentar lagi, tak sampai satu kilo itu puskesmas mir". Pak darmo menjawab.

"Bergegas pak, puskesmas jam segini tutup, kita ke pak mantri sugeng saja, lebih dekat dari sini, aduh ini pak sapto ga bangun-bangun". Ujar amir tak sabar.

"Itu masih napas dia, mir!" Jawab pak darmo.

"Ketulah dia mir, baru dalam hati aku ngedumel, sudah kena akibatnya kamu sapto!". Omel pak darmo, seraya kembali membopong pak sapto.

Tak berselang lama, digelap malam, udara dingin mulai merambat dengan cepat, menjalar pada bulu kuduk dan tubuh pak darmo.

"Tunggu mir tunggu, aku mau kencing dulu". Ucap pak darmo, kembali melepas bopongan dan segera berlari kebalik pohon.

Amir merebahkan tubuh pak sapto ditepi jalan, menopang kepalanya pada pahanya, agar darah yang sudah mengental dari leher dan keningnya, tak lagi banyak keluar.

"Pak darmo". Amir memanggil.

"Pak darmoooo". Panggil amir yang mulai tak sabar menunggu.

Amir meletakkan kepala pak sapto pelan-pelan, dialaskan kaos oblongnya yang dibuntel buntel sebagai bantal untuk pak sapto.

Sambil melirik ke kiri dan kanan, amir kembali memanggil pak darmo. "Pak darmo.. pak darmo lama betul".

"Pakkk darmooo!!!!!! Astagfirullahhhhhh!!!!". Teriak amir sejadi-jadinya. Mata amir terbelalak, keringat dingin mengucur deras, seketika lututnya lemas.

Dalam remang cahaya bulan, disaksikannya tubuh pak darmo terbujur kaku, bersimbah darah, lehernya hampir putus, terbaring dengan mata melotot dan lidah menjulur keluar, terkulai dibawah pohon.

Ketakutan menggerogoti amir, menjalar keseluruh tubuhnya yang mendadak lemas tak berdaya, tak ada waktu bertanya, apa atau siapa yang begitu sadis menghabisi nyawa pak darmo.

Bruk!!! Sebuah benda tumpul memukul tengkuk amir, seketika robohlah tubuh amir yang sudah lemas tersebut, mencium tanah.

Sebelum pingsan, samar-samar amir melihat sesosok mahluk berlumur darah, merah pekat dengan mata menyala, mahluk itu memandangnya, seolah mengenali amir.

Mahluk itu, kemudian tanpa ragu sedikitpun, menghujamkan parang, parang milik amir yang ditinggalkan di kebun, menghujam ke arah dada pak sapto, yang sudah sekarat.

Amir pun terkulai dipinggir jalan, ditelan kegelapan malam itu, sampai tak sadar lagi, apa yang selanjutnya terjadi.

---------

Di dalam ruangan sempit dengan jendela yang dibiarkan tertutup, pagi itu, amir terduduk dibangku plastik, menatap sosok petugas berseragam coklat didepannya.

Secara seksama amir membaca, nama yang tertera diatas saku seragam tersebut, tak terbayangkan olehnya, akan mengalami proses interogasi oleh petugas, seperti yang pernah amir saksikan didalam film-film.

"Saya AKP suryono, biasa dipanggil kapten suryo".   Ucap sosok tersebut mengenalkan diri.

"Kamu amir anak pak diro?" Melanjutkan

"Betul pak". Jawab amir lirih.

"Kamu ngerti siapa yang bunuh orang tua bernama darmo dan sapto?". Dengan nada tinggi kapten suryo bertanya.

"Tak tahu pak". Jawab Amir pelan.

"Bener itu!!" Setengah membentak, kapten suryo kali ini bertanya.

"Bener pak". Jawab amir tanpa ragu.

"Parang itu punya kamu?" Tanya kapten suryo, sambil menunjuk pada parang berlumur darah yang sudah mengering, diatas lantai.

"Be be betul pak". Kali ini amir sangat ketakutan.

Kapten suryo menghela nafas, dia kemudian duduk didepan amir, dengan gaya sedikit santai, namun masih bernada tegas dia berkata. "Kamu memang punya alasan membenci orang-orang tua itu, tapi bukan berarti kamu boleh membunuh mereka!!".

"Mir sebelum bapak kamu hilang"... Lanjut kapten suryo.

"Bunuh diri pak". Potong Amir

"Bunuh diri kenapa, ngerti kamu!?". Tanya kapten suryo, seperti tak senang ucapannya dipotong Amir.

"Kata emak, semenjak saya merantau dulu, bapak sakit tak bisa kerja, dia jadi gila pak". Jawab amir yang sudah tak berani menatap kapten suryo.

"Semprull kamu!!! Hardik kapten suryo.

Suara gaduh dari ruang interogasi, terdengar sampai keluar, dan nampaknya hal itu disadari oleh kapten suryo, maka diapun sedikit menurunkan nada bicaranya.

"Setahun lalu, bapakmu ada laporan kesini, ngadu, kalau kebunnya diserobot pak darmo, dia bawa bukti ini". Terang kapten Suryo.

Kapten Suryo berdiri, memperlihatkan surat tanah yang masih berupa girik pada amir, surat tanah milik bapaknya, yang akan dijual oleh calon bapaknya.

"Sehari sebelum hilang, bapakmu kemari lagi". Lanjut kapten Suryo.

Kapten Suryo menghela nafas panjang, meletakan surat tanah milik pak diro, ayah amir, keatas meja.

"Dia melaporkan pak sapto, sama emakmu, karena dicurigai berbuat zinah". Sambung kapten Suryo.

Seketika, Kantor Polsek ijoroyo menjadi hening, amir tak mampu berkata apa-apa, wajahnya pucat pasi, pikirannya menerawang, pada mahluk merah darah di malam itu, seakan berusaha mengingat wajah bapaknya sendiri, pada emak, apakah betul bisa berbuat sebejad itu dengan pak sapto pencari madu, lalu pak darmo yang sudah seperti ayahnya sendiri, ternyata seorang pencuri, mulut amir seperti kaku, kemudian air matanya pun tumpah.

Suara obrolan dan lalu lalang petugas serta hiruk pikuk warga, diiringi suara berisik mesin tik, bersahut nada telepon berdering-dering dikantor Polsek ijoroyo, tak lagi dihirau amir, yang kini membeku pucat pasi.

-------

Bau anyir yang tidak sedap menyengat, mengisi seluruh ruangan disebuah kamar, sebuah kamar dirumah amir.

Emak menggeliat meronta-ronta, berusaha melepaskan ikatan tali ditangan, leher, mulut dan kakinya, matanya tak kuasa menahan air mata, terpancar ketakutan yang luar biasa.

Sesosok mahluk berlumur darah, berseloroh kepada emak. "Madu ini manis nyaiii.. warnanya merah..ssssttttt".

Kringg..kringg..kringg..., bunyi ringtone lawas terdengar dari dalam rumah tersebut.

Klikk!..seseorang terdengar mengangkat telepon, "kang mas, si amir sudah aku urus ya, aman semuanya".

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun