"Ketulah dia mir, baru dalam hati aku ngedumel, sudah kena akibatnya kamu sapto!". Omel pak darmo, seraya kembali membopong pak sapto.
Tak berselang lama, digelap malam, udara dingin mulai merambat dengan cepat, menjalar pada bulu kuduk dan tubuh pak darmo.
"Tunggu mir tunggu, aku mau kencing dulu". Ucap pak darmo, kembali melepas bopongan dan segera berlari kebalik pohon.
Amir merebahkan tubuh pak sapto ditepi jalan, menopang kepalanya pada pahanya, agar darah yang sudah mengental dari leher dan keningnya, tak lagi banyak keluar.
"Pak darmo". Amir memanggil.
"Pak darmoooo". Panggil amir yang mulai tak sabar menunggu.
Amir meletakkan kepala pak sapto pelan-pelan, dialaskan kaos oblongnya yang dibuntel buntel sebagai bantal untuk pak sapto.
Sambil melirik ke kiri dan kanan, amir kembali memanggil pak darmo. "Pak darmo.. pak darmo lama betul".
"Pakkk darmooo!!!!!! Astagfirullahhhhhh!!!!". Teriak amir sejadi-jadinya. Mata amir terbelalak, keringat dingin mengucur deras, seketika lututnya lemas.
Dalam remang cahaya bulan, disaksikannya tubuh pak darmo terbujur kaku, bersimbah darah, lehernya hampir putus, terbaring dengan mata melotot dan lidah menjulur keluar, terkulai dibawah pohon.
Ketakutan menggerogoti amir, menjalar keseluruh tubuhnya yang mendadak lemas tak berdaya, tak ada waktu bertanya, apa atau siapa yang begitu sadis menghabisi nyawa pak darmo.