1
Sebuah gedung menjulang tinggi di kawasan megapolitan yang riuh dengan klakson-klakson kendaraan yang berlalu lalang. Seseorang berambut hitam legam, berkulit sawo matang, dengan pakaian kantornya memasuki gedung menjulang tinggi itu.Â
Diikuti oleh seperempat lusin orang demi keamanan David Antonio. Orang penting itu disambut oleh sekretaris orang yang akan ditemuinya hari ini.Â
Mereka langsung menuju lift di sebelah barat, tak sampai dua menit orang-orang itu sampai di tempat yang mereka tuju.Â
Lantai 9 dengan cat dinding berwarna putih yang di dalamnya merupakan sebuah ruangan yang dihuni oleh direktur utama salah satu media, terdapat sebuah komputer, mesin printer, rak buku, dan tentunya seseorang yang telah menunggu selama beberapa menit sedang duduk di kursinya.
Direktur utama dan David Antonio bersalaman seperti seorang rekan bisnis yang akan bekerja sama. Namun, mereka bukan ingin bekerja sama, mereka hanya berbincang-bincang. Tak lama setelah itu, David Antonio mengeluarkan sebuah dokumen dan menyodorkannya kepada orang yang berada di hadapannya.
"Tuan Horan, minggu lalu kita sudah sepakat mengenai hal ini. Saatnya hitam di atas kertas."
Rogi Horan mengangguk ragu, ia mengeluarkan bol poin miliknya dan menandatangani dokumen itu tanpa mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari.
***
6.30 pagi
Mavis meraba-raba handphone di atas meja lampu di sampingnya, memaki bisingnya suara alarm yang memekakkan telinga. Di dapatnya hanphone itu setelah beberapa detik buru-buru menekan tombol untuk mematikan alarm.Â
Ia lanjut membaringkan diri kembali di ranjangnya karena kelelahan semalaman mengerjakan beberapa analisi mengenai likuipasi di Pulau Sumatera dari beberapa jurnal. Setelah beberapa menit menutupkan mata, handphone di sampingnya berdering kembali.
Siapa pagi buta begini sudah menelepon?. Mavis mengangkat telepon dengan posisi masih berbaring di ranjang.
"Apakah ini dengan bapak Mavis?" suara perempuan itu membangunkan diri Mavis di atas ranjang.
"Iya, saya sendiri." Mavis menjawab perempuan itu dengan terbata-bata karena setengah mengantuk.
"Begini pak, sebelumnya maaf saya telah menganggu bapak pagi-pagi seperti ini."
Yah, memang menganggu sekali. Batin Mavis.
"Langsung saja, dapatkah bapak membantu saya?" lanjut perempuan itu yang langsung dipotong oleh suara laki-laki yang diteleponnya.
"Maaf, mbak, eh ibu. Pertama, sepenting apa urusan ibu hingga menelepon saya sepagi ini? Kedua, saya tidak tahu siapa ibu dan ibu langsung meminta bantuan saya? Dan ketiga, darimana ibu mengetahui nomor handphone saya?" jawab Mavis yang sudah setengah sadar dan kesal hari liburnya di ganggu oleh orang yang tidak dikenal.
"Baik. Sekali lagi mohon maaf saya telah menganggu anda pak Mavis, tapi ini mendesak. Saya sudah mengirimkan email kepada anda, siapa saya, urusan saya apa telah tertulis di email yang saya kirim. Mohon anda segera membaca email yang saya kirim. Terima kasih." Jawab perempuan itu jelas.
Mavis langsung membuka laptop dan membuka emailnya, ternyata sudah ada beberapa pesan yang belum terbaca, salah satunya dari perempuan tadi. Mavis membaca satu-satu emailnya, ia terkejut karena yang mengirimi email ternyata seorang penulis terkenal yang bukunya telah terjual ribuan kopi dalam waktu hanya satu minggu saja. Mavis tak kalah terkejut dengan isi email itu.
"Halo, pak Mavis? Apakah anda masih di sana?"
Suara itu memecahkan lamunan Mavis selama beberapa detik.
"I-iya saya bisa membantu sebisa saya."
"Baik. Kita akan bertemu pukul 8, apakah bisa?"
"Oh, iya, pukul 8, oke." Mavis menjawab dengan terbata-bata.
"Lokasi tempatnya akan saya kirim melalui pesan singkat. Sebelumnya terima kasih dan maaf."
Telepon mereka sudah terputus, hanya Mavis yang masih tersambung dengan email yang telah dibacanya beberapa menit lalu yang dikirim oleh penulis terkenal itu.
Mavis, seorang ahli geologi yang bekerja di sebuah lembaga milik negara. Ia sudah bekerja selama satu dekade di BMKG, karena kepintarannya dalam menganalisis dan selalu menjadi salah satu peneliti yang bekerja sama dengan universitas-universitas, nama Mavis cukup dikenal di kalangan dosen dan rektor di beberapa universitas.Â
Umurnya yang tidak lagi muda selalu menjadi perbincangan ibunya. Ia ingat setiap pulang ke kampung halamannya ia selalu ditanya apakah ia sudah punya calon atau belum dan di tanya kapan menikah oleh keluargannya, itu alasan Mavis hanya satu tahun sekali pulang ke kampungnya. Ia tidak berkeinginan untuk menikah cepat-cepat.
"Umurmu sudah berapa tahun, nak?" tanya ibu Mavis yang sedang menyuguhkan kopi untuk suami dan anak tunggalnya.
"Ehm. 32, bu," jawab Mavis pelan-pelan. Ia langsung membawa kopinya ke kamar dan menyetel lagu keras-keras sebelum ibu dan bapaknya menanyakan ia kapan menikah.
"Ada anak teman bapak yang masih lajang, nanti bapak kenalkan. Jangan jadi bujangan tua kau Mavis," teriak bapaknya sambil mengeleng-gelengkan kepala karena bingung anak satu-satunya ini tidak ingin segera menikah.
***
Mavis bergegas menuju tempat yang lokasinya ia sudah ketahui berpuluh-puluh detik tadi. Dengan kemeja lengan panjang, jaket kulit, dan sepatu kasualnya, bujangan 34 tahun ini terjebak macet di kawasan metropolitan.Â
Setelah berperang dengan bising klakson dan polusi, ia mengecek kembali tempat yang di tuju, tepat. Ia sudah sampai. Mavis masuk ke tempat itu dan tidak menemukan siapa-siapa. Ia menuju sebuah lift di sebelah barat untuk membawanya ke lantai 9, tempat dimana ia akan bertemu dengan penulis itu.
Sesampainya di sana, duduk seorang gadis muda umur 25 tahun di salah satu kursi menghadap ke jendela dengan tatapan samar. Rambut hitamnya di kuncir kuda, panjang lurus di belakang punggungnya dengan tunik biru yang menyelimuti lekuk badannya. Menyadari ada yang memperhatikan ia langsung berbalik, senyum tersungging di bibir tipisnya.
"Maaf sudah menunggu," kata Mavis sambil bersalaman dengan Megi.
"Oh, tidak apa-apa. Perkenalkan saya Megi," balas perempuan muda itu.
"Iya, saya sudah tahu, siapa yang tidak tahu dengan anda. Saya Mavis," jawab Mavis sambil melebarkan senyumnya.
Megi mempersilahkan Mavis untuk duduk. Meja di depanya Mavis tidak di suguhkan minuman ataupun makanan ringan, namun setumpuk buku dan kertas-kertas yang entah tahu untuk apa. Megi memulai pembicaraan dengan -sekali lagi- permohonan maafnya karena telah membuat Mavis sibuk di hari yang seharusnya libur ini. Mavis pun sudah mulai nyaman duduk di kursinya dan tidak mempermasalahkan hari liburnya.
"Pak Mavis, sebenarnya dua hari ini saya sedang mencari tahu mengenai ini," Megi menyodorkan gambar yang sudah ia print kepada laki-laki di hadapannya.
Raut wajah Mavis melunak setelah melihat gambar yang ia terima.
"Jadi, mbak Megi sedang melakukan riset untuk buku terbaru mengenai tempat ini? Sebelumnya panggil saya Mavis saja," Â jawab Mavis.
"Panggil saya juga Megi saja, pak. Eh, Mavis."
"Ehm, i-iya saya sedang melakukan riset mengenai tempat itu," lanjut Megi, gugup.
Mavis tidak mempermasalahkan kegugupan Megi barusan. Mungkin saja Megi tidak ingin buku barunya menjadi bocor karena telah melibatkan orang lain.
Mavis mulai menjelaskan bagaimana kondisi geografis tempat itu. Tempat itu berada di kawasan terlindungi milik swasta, masih berada di pulau Jawa. Sebenarnya kawasan ini sebuah pulau kecil yang ekosistemnya masih terlindungi. Jadi seperti pulau dalam pulau.
Megi hanya mengangguk-angguk dan sesekali bertanya.
"Saya baca-baca di internet pulau kecil ini dulunya merupakan sebuah penjara, apa benar?" tanya Megi.
"Iya, betul. Tempat ini dulu digunakan sebagai tempat tahanan dan tempat eksekusi para pidana. Namun, sekarang digunakan oleh perusahaan swasta, katanya seperti intelejennya swasta, tapi itu masih rumor. Waktu beberapa tahun lalu saya berkunjung ke sana di sana masih ada pemukiman warga dan memang benar, ekosistemnya masih asri."
"Mavis, bagaimana jika benar di sana ada perusahaan swasta di bidang intelejen?"
"Saya pikir perusahaan itu beroperasi di bidang indutri atau garmen. Agak tidak mungkin sebuah perusahaan beroperasi di bidang intelejen, mengingat negara kita sudah mempunyai lembaga di bidang itu." Mavis agak sedikit tertawa dengan pertanyaan Megi.
Masuk akal juga. Pikir Megi.
"Genre apa untuk tempat seperti ini, Megi? " kini ia sudah mulai terbiasa dengan sapaan nama satu sama lain.
"Ehm, maaf, Mavis. Tapi saya benar-benar tidak ingin membicarakan mengenai kepenulisan saya."
Mavis merasa ada yang aneh dengan tingkah laku Megi. Meskipun mereka baru akrab beberapa menit yang lalu, tapi Mavis merasakan ada yang janggal dari tingkah laku Megi yang gugup. Biasanya Megi selalu tampil percaya diri dihadapan media saat dirinya diliput ataupun bedah buku membahas mengenai buku bestseller-nya. Sedangkan sekarang ia merasa gelisah hanya berbicara dengan seorang ahli geologi suatu lembaga negara.
Megi beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela dengan kaca besar yang menghadap ke arah timur. Ia melihat sekilas ke jalanan yang padat dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Megi hanya menghela napas dan berdiri menatap kekosongan.
"Megi, apakah semuanya baik-naik saja?" suara Mavis memecah keheningan.
Tidak ada yang baik-baik saja, Mavis. Megi berjalan beberapa langkah ke arah Mavis.
"Se-sebenarnya," Megi merasa gugup, "sebenarnya saya sedang mencari ayah saya," ia melanjutkan.
Megi menceritakan bagaimana ia mencari ayahnya yang sudah menghilang sejak dua hari yang lalu, sudah ke berbagai tempat yang sering dikunjungi oleh ayahnya pun ia cari, namun nihil.
"Kenapa tidak lapor polisi saja?" saran Mavis yang masih tidak percaya.
"Itu terlalu berisiko, saya juga malas berurusan dengan polisi," sela Megi.
"Apakah tidak ada tanda-tanda apapun itu untuk mengetahui keberadaan ayahmu?"
"Tentu saja ada!" Megi langsung bersemangat mencari-cari secarik kertas di atas meja yang penuh dengan tumpukan-tumpukan kertas.
Mavis mengerutkan keningnya saat menerima secarik kertas itu. Kertas itu berisi angka-angka yang telah diterjemahkan.
"Kamu yang menerjemahkan ini?" tanya mavis.
"Iya, mudah sekali menerjemahkannya, tapi kali ini saya tidak mengerti apa maksudnya. Saya kira itu sebuah tempat."
Mavis masih merasa bingung dengan kertas berisi angka itu dan juga terjemahannya. Â Â Â Â Â
"Saya dan ayah selalu bermain teka-teki," lanjut Megi.
"Tapi, saya agak aneh dengan angka dan huruf terjemahannya, kenapa huruf A menjadi angka 19? Bukannya huruf A merupakan abjad pertama?" tanya Mavis penasaran.
"Saya dan ayah membuat sandi kami sendiri, berbeda dengan sandi angka yang sudah ada. Kami membuat acuan huruf yang digunakan itu bukan dari abjad namun sesuai urutan huruf di keyboard sebuah komputer. Jadi, huruf Q menjadi angka 1, begitupun seterusnya," jawab Megi.
"Sedikit aneh, tapi itu berlaku untuk kami saja," lanjutnya.
"Mavis, apakah kamu yakin tidak ada tempat lain yang tersembunyi di pulau itu? Saya tahu kamu skeptis tentang hal ini, tapi itu alasan saya meminta bantuanmu." Megi menghela napas kembali.
"Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya akan bantu sebisa saya, Megi." Mavis mengangguk pelan menatap mata cokelat Megi yang penuh harap.
Perlu persiapan yang matang untuk pergi ke sebuah pulau, apalagi ke sebuah pulau yang sudah jarang dikunjungi oleh orang lain. Dari Megapolitan menuju pulau tersebut butuh waktu sekitar delapan jam untuk sampai di sana. Mavis dan Megi telah sepakat akan mengunjungi pulau itu.
Sesampai di pintu depan menuju lift, Mavis terkejut terkena hantaman benda padat di dada kirinya. Mavis hanya melihat keburaman suasana di sekelilingnya dan mendengar jeritan suara perempuan, lalu semuanya serba menghitam.
Bersambung...
Hai, aku Indi. Umurku 19 tahun. Aku masih belajar menulis. Terima kasih sudah membaca tulisanku. Aku tunggu kritik dan sarannya, ya.
Without wax, I.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H