Suara itu memecahkan lamunan Mavis selama beberapa detik.
"I-iya saya bisa membantu sebisa saya."
"Baik. Kita akan bertemu pukul 8, apakah bisa?"
"Oh, iya, pukul 8, oke." Mavis menjawab dengan terbata-bata.
"Lokasi tempatnya akan saya kirim melalui pesan singkat. Sebelumnya terima kasih dan maaf."
Telepon mereka sudah terputus, hanya Mavis yang masih tersambung dengan email yang telah dibacanya beberapa menit lalu yang dikirim oleh penulis terkenal itu.
Mavis, seorang ahli geologi yang bekerja di sebuah lembaga milik negara. Ia sudah bekerja selama satu dekade di BMKG, karena kepintarannya dalam menganalisis dan selalu menjadi salah satu peneliti yang bekerja sama dengan universitas-universitas, nama Mavis cukup dikenal di kalangan dosen dan rektor di beberapa universitas.Â
Umurnya yang tidak lagi muda selalu menjadi perbincangan ibunya. Ia ingat setiap pulang ke kampung halamannya ia selalu ditanya apakah ia sudah punya calon atau belum dan di tanya kapan menikah oleh keluargannya, itu alasan Mavis hanya satu tahun sekali pulang ke kampungnya. Ia tidak berkeinginan untuk menikah cepat-cepat.
"Umurmu sudah berapa tahun, nak?" tanya ibu Mavis yang sedang menyuguhkan kopi untuk suami dan anak tunggalnya.
"Ehm. 32, bu," jawab Mavis pelan-pelan. Ia langsung membawa kopinya ke kamar dan menyetel lagu keras-keras sebelum ibu dan bapaknya menanyakan ia kapan menikah.
"Ada anak teman bapak yang masih lajang, nanti bapak kenalkan. Jangan jadi bujangan tua kau Mavis," teriak bapaknya sambil mengeleng-gelengkan kepala karena bingung anak satu-satunya ini tidak ingin segera menikah.