Agnesh menghela napasnya dengan sedikit ketakutan. "Agnesh izin ga sekolah dulu ya Bun? Badan Agnesh saki semua rasanya," ujarnya dengan penuh kejujuran.
Vania yang mendengar penuturan itu segera memegang lengan Agnesh dengan punuh kelembutan dan mengajak anaknya itu kembali ke kamar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Agnesh hanya mengikuti langkah kaki Bundanya.
Sesampainya di kamar, Vania mendudukkan Agnesh di tepian kasur. Wanita dengan sigap membuka kaos yang menutupi tubuh anaknya, membuat Agnesh terlonjak kaget dengan perlakuan Vania.
"Bun," ujar Agnesh berusaha mempertahankan bajunya dari badannya.
Vania hanya diam dan terus memaksa anaknya itu agar melepaskan kaosnya. Setelah kaos itu terlepas, Vania dengan jelas melihat luka-luka yang ada ditubuh Sang Anak. Kedua lengannya penuh luka serta lebam yang sudah berwana ungu ke hitam-hitaman. Punggungnya terdapat luka yang cukup dalam serta lebam dimana-mana.
"Agnesh," ujar Vania dengan suara yang sangat lirih. Mata wanita itu berkaca-kaca. Dengan sekali gerakan, wanita paruh baya itu membawa Agnesh dalam pelukannya.
Air mata Ibu itu mengalir dengan deras. Agnesh yang mendengar isakan kecil keluar dari bibir Bundanya segera mengelus punggung Vania dengan lembut.
"Agnesh gapapa Bunda, Agnesh kan anaknya Bunda yang sangat kuat," ujar Agnesh berusaha menghibur Vania. Namun, mendengar itu tangisan Vania semakin keras.
Ibu macam apa dia sampai tega membiarkan suamianya menyakiti anaknya sendiri? Apakah pantas dia menyandang status sebagai seorang Ibu?
"Agnesh. Maafkan Bunda Nak. Maaf, Bunda belum bisa berbuat apa-apa saat Ayahmu memukuli badan Agnesh kaya ini, maafin Bunda ya Nak," ujar Vania dengan suara yang sangat parau.
Agneh tersenyum dengan anggukan dari kepalanya. Perlahan Agnesh melapaskan pelukan itu, kakinya dia ayunkan menuju ke arah nakas untuk mengambil kapas dan betadine. Ya hanya itu yang Agnesh punya untuk mengobati luka-lukanya. Secara untuk membeli obat yang lengkap Kailash hanya memberinya uang pas-pasan.