Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Racun Cappuccino

24 September 2022   09:31 Diperbarui: 24 September 2022   09:36 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Racun Cappuccino (Pixabay)

Belakangan ini aku sering melihat Tante Erlin bermata sembap.

Dia adik bungsu mama. Jarak usianya denganku hanya delapan tahun. Dia masih tinggal bersama kakek dan nenek karena belum menikah di usianya yang sudah lebih dari tiga puluh tahun.

Tante Erlin sudah bekerja sebagai ASN. Setiap berkunjung ke rumah kami, dia membawa banyak makanan. Tapi belakangan ini, dia lupa bawa makanan. Dia hanya bawa tangisan.

Walaupun aku cukup dekat dengan Tante Erlin, tapi aku enggan bertanya langsung. Sepertinya kali ini masalah cukup gawat, karena wajahnya demikian pucat.

Sore ini Tante Erlin datang lagi, sambil membawa martabak telur. Aku harap martabak itu lambang bahwa masalahnya sudah teratasi. Tante Erlin tersenyum tipis melihatku pulang dari main di mal, lalu berpamitan sambil berpesan agar aku makan martabaknya.

***

"Sebenarnya apa masalah Tante Erlin, Ma?" tanyaku sambil mencacah martabak dengan keempat taringku. Rasa gurih martabak dan asam dari acar bersatu di dalam mulut. Hmm, nikmat.

Mama meneguk teh dari cangkir bermotif bunga kesayangannya.

"Dia jatuh cinta pada orang yang salah," jawab mama singkat. Mataku membola, lalu meluncurlah cerita dari mulut mama.

Tante Erlin berkenalan dengan seseorang lalu jatuh cinta, meski tahu bahwa lelaki itu sudah memiliki istri dan anak. Tante Erlin bersedia menjadi istri kedua. Masalahnya, seorang ASN perempuan dilarang menjadi istri kedua, begitu peraturannya, kata mama.

"Jadi?" tanyaku sambil memungut potongan martabak kedua dan menjejalkannya ke mulutku.

"Kalau nekad kawin, tantemu harus out dari pekerjaannya," jelas mama.

"Tante sampai rela kekgitu?!" seruku heboh nyaris tersedak martabak.

"Nggak sampai terjadi karena si lelaki mundur. Istrinya tidak mau dimadu."

Aku manggut-manggut. Setelah mulutku bersih dari potongan martabak, aku baru bisa berpikir alangkah menjengkelkannya si lelaki yang mendekati Tante Erlin. 

Kalau sudah ada tanda-tanda tak mampu, jangan kaudekati gadis-gadis pendamba cinta seperti Tante Erlin. 

Berapa liter air mata sudah Tante Erlin tumpahkan ... berapa alasan ia curahkan ke kakek dan nenek demi mencintai pria beristri ... semua sia-sia karena lelaki cemen. Kalau tak bisa berenang, jangan berani-berani menyeberang sungai!

Mama menaikkan alis melihatku. Pasti wajahku memerah karena tiba-tiba aku diamuk amarah.

"Makanya kalau makan martabak, nggak usah pakai cabai. Kamu kepedesen, kan?" tuduh mama. Padahal aku sedang marah.

***
Berbekal info minimalis dari mama, aku akhirnya tahu identitas lelaki cemen pengobral cinta. Namanya Marwan, ASN di sebuah instansi yang merangkap jadi dosen di sebuah universitas swasta. Kebetulan sahabatku saat SMA, Nani, kuliah di sana. Kebetulan pula, dia mengambil mata kuliah yang diampu oleh si Marwan ganjen itu.

Tanpa memberi info apapun terkait Tante Erlin, aku minta ikut kuliah Nani. Situasi dan kondisi di kampus Nani memungkinkan siapa saja untuk ikut kuliah di ruang-ruang kampus.

"Sejak kapan lo tertarik ilmu komunikasi?" tanya Nani saat kami sudah duduk di ruang kuliah menunggu dosen datang.

"Sejak gue jadi asisten dosen mata kuliah Manajemen Kesehatan Ternak," jawabku ngasal.

Nani terkikik, "Ngaco lo, ini ilmu komunikasi antar manusia, bukan sapi!"

Aku tak sempat menyanggahnya karena sesosok lelaki ramping berkacamata sudah memasuki ruangan dan menyapa dengan ramah dan santun.

"Tuh, dosen gue, keren kan?" Nani kedip-kedip ke arahku.

Ih, keren apanya. Mataku lurus menatap lelaki yang sudah mematahkan hati Tante Erlin, tepat ketika manik hitam di balik kacamata itu menyadari kehadiranku.

"Ada wajah baru saya lihat?" sapanya sambil tersenyum. Dasar tukang tebar pesona!

"Izin ikut kuliah, Pak. Dia teman saya mahasiswi Fakultas Peternakan!" Nani nyerocos tanpa sempat kucegah.

"Oh? Peternakan? Menarik sekali. Baik, silakan ikut kuliah saya, ya. Jika ada keperluan khusus terkait materi, kita bisa berbincang usai jam perkuliahan," angguk dosen tampan itu sambil mengalihkan pandangan dan memulai perkuliahan. 

Eits, kenapa aku menyebutnya dosen tampan? Ingat Hiro, dia lelaki yang sudah membuat tidur tantemu tak nyenyak berbulan-bulan lamanya. Dia adalah musuh!

Selepas kuliah, Nani menyeretku menemui si Marwan. Nani nyerocos tentang tugasnya membuat paper dengan suara dimanja-manjain, halah yang bener aja Nan, suami orang itu. Aku diam menahan emosi. Setelah selesai bicara, Nani mendorongku maju. Astaga benar-benar deh kelakuan si Nani.

"Ooh ini mbak mahasiswi peternakan yang tadi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Marwan.

"Bantu aku mengobati hati tanteku yang retak," sebetulnya aku berencana akan menjawab seperti ini, tapi tidak jadi.

"Eeegh ... saya Hironisa Pratiwi, Pak. Semester ini saya menjadi asdos salah satu mata kuliah di Fapet. Saya merasa saya agak lemah dalam masalah komunikasi publik, maksud saya ngobrol dengan mahasiswa ... saya cenderung judes. Apa bisa saya minta advis terkait hal itu, Pak?"

Entah alasan yang kuungkapkan untuk mengenal lelaki ini masuk akal atau tidak, yang penting alasan bohonganku cukup lancar kututurkan. Lagipula memang benar ini tahun pertamaku menjadi asdos di kampusku.

Marwan mengernyitkan kening, lalu tersenyum.

"Ayo kita ngobrol sambil minum cappuccino di kantin kampus. Hiro sudah pernah nyobain? Enak sekali cappuccinonya."

"Eerrrgh ...," aku bimbang.

"Ayo aja, aku temenin," ucap Nani menggamitku, lalu kami pergi ke kantin bersama-sama.

Pak Marwan menjelaskan panjang lebar mengenai cara berbicara di depan umum, terkhusus berbicara di depan mahasiswa yang hampir seumuran dengan kita. Ada kiat-kiat agar materi kita tetap didengarkan, dan para mahasiswa tidak melecehkan karena menganggap kita sebagai asdos kemarin sore yang mudah dikerjain.

Walau awalnya sudah antipati, kuakui berbincang dengan Marwan cukup menyenangkan. Dia menguasai ilmunya dan mampu menjelaskan dengan cara sederhana dan bikin aku paham serta nggak galau lagi bakal menghadapi mahasiswa Fapet yang gahar-gahar - walaupun sebenarnya mereka adik tingkatku sendiri.

"Kalau masih ada yang ingin diobrolkan, telepon atau wa saja nggak papa. Mintalah nomor saya pada Nani. Saya harus buru-buru pulang sekarang, mau sekalian jemput istri," senyumnya lalu pamit setelah membayar tiga gelas cappuccino dan dua piring camilan yang kami pesan tadi.

Aku termenung-menung.

"Gimana, nyenengin kan, Pak Marwan? Dia tu nggak pernah marah. Kalaupun paper yang aku bikin jelek, dia pasti njelasin satu-satu dengan sabar banget. Pokoknya dosen idola senantiasa," puji Nani.

Hmmm, aku kini paham kenapa Tante Erlin bisa sampai terkiwir-kiwir. Dosen itu jelas adalah kawan ngobrol yang sangat menyenangkan. Wawasannya luas. Dan ia pandai membuat teman bicaranya merasa jadi orang yang istimewa. Marwan adalah racun yang sangat berbahaya.

Tiga hari sudah sejak bertemu dengan Marwan, aku tak bisa tidur nyenyak. Aku memikirkan bagaimana membalas kejahatannya yang sudah menyakiti Tante Erlin. Aku harus bisa membalas rasa sakit hati tanteku tersayang.

"Pak Marwan, ini Hiro. Bagaimana kalau nanti sore kita ngobrol sambil minum cappuccino lagi? Cappuccinonya benar-benar enak dan ngangenin," tulisku tanpa pikir panjang di chat whatsapp.

Aku menunggu balasan Marwan sambil memikirkan tentang racun yang harus kutelan. Apakah racun itu nantinya membuat hatiku patah seperti tante ... ataukah aku mampu mengeluarkan racun yang lebih mematikan untuk menjerat Marwan?

Detik-detik di mana kulihat notif "Marwan mengetik" di layar ponselku, membuat napasku memburu. Haruskah aku teruskan, atau haruskah aku berhenti sampai di sini?**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun