"Jadi?" tanyaku sambil memungut potongan martabak kedua dan menjejalkannya ke mulutku.
"Kalau nekad kawin, tantemu harus out dari pekerjaannya," jelas mama.
"Tante sampai rela kekgitu?!" seruku heboh nyaris tersedak martabak.
"Nggak sampai terjadi karena si lelaki mundur. Istrinya tidak mau dimadu."
Aku manggut-manggut. Setelah mulutku bersih dari potongan martabak, aku baru bisa berpikir alangkah menjengkelkannya si lelaki yang mendekati Tante Erlin.Â
Kalau sudah ada tanda-tanda tak mampu, jangan kaudekati gadis-gadis pendamba cinta seperti Tante Erlin.Â
Berapa liter air mata sudah Tante Erlin tumpahkan ... berapa alasan ia curahkan ke kakek dan nenek demi mencintai pria beristri ... semua sia-sia karena lelaki cemen. Kalau tak bisa berenang, jangan berani-berani menyeberang sungai!
Mama menaikkan alis melihatku. Pasti wajahku memerah karena tiba-tiba aku diamuk amarah.
"Makanya kalau makan martabak, nggak usah pakai cabai. Kamu kepedesen, kan?" tuduh mama. Padahal aku sedang marah.
***
Berbekal info minimalis dari mama, aku akhirnya tahu identitas lelaki cemen pengobral cinta. Namanya Marwan, ASN di sebuah instansi yang merangkap jadi dosen di sebuah universitas swasta. Kebetulan sahabatku saat SMA, Nani, kuliah di sana. Kebetulan pula, dia mengambil mata kuliah yang diampu oleh si Marwan ganjen itu.
Tanpa memberi info apapun terkait Tante Erlin, aku minta ikut kuliah Nani. Situasi dan kondisi di kampus Nani memungkinkan siapa saja untuk ikut kuliah di ruang-ruang kampus.