"Ooh ini mbak mahasiswi peternakan yang tadi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Marwan.
"Bantu aku mengobati hati tanteku yang retak," sebetulnya aku berencana akan menjawab seperti ini, tapi tidak jadi.
"Eeegh ... saya Hironisa Pratiwi, Pak. Semester ini saya menjadi asdos salah satu mata kuliah di Fapet. Saya merasa saya agak lemah dalam masalah komunikasi publik, maksud saya ngobrol dengan mahasiswa ... saya cenderung judes. Apa bisa saya minta advis terkait hal itu, Pak?"
Entah alasan yang kuungkapkan untuk mengenal lelaki ini masuk akal atau tidak, yang penting alasan bohonganku cukup lancar kututurkan. Lagipula memang benar ini tahun pertamaku menjadi asdos di kampusku.
Marwan mengernyitkan kening, lalu tersenyum.
"Ayo kita ngobrol sambil minum cappuccino di kantin kampus. Hiro sudah pernah nyobain? Enak sekali cappuccinonya."
"Eerrrgh ...," aku bimbang.
"Ayo aja, aku temenin," ucap Nani menggamitku, lalu kami pergi ke kantin bersama-sama.
Pak Marwan menjelaskan panjang lebar mengenai cara berbicara di depan umum, terkhusus berbicara di depan mahasiswa yang hampir seumuran dengan kita. Ada kiat-kiat agar materi kita tetap didengarkan, dan para mahasiswa tidak melecehkan karena menganggap kita sebagai asdos kemarin sore yang mudah dikerjain.
Walau awalnya sudah antipati, kuakui berbincang dengan Marwan cukup menyenangkan. Dia menguasai ilmunya dan mampu menjelaskan dengan cara sederhana dan bikin aku paham serta nggak galau lagi bakal menghadapi mahasiswa Fapet yang gahar-gahar - walaupun sebenarnya mereka adik tingkatku sendiri.
"Kalau masih ada yang ingin diobrolkan, telepon atau wa saja nggak papa. Mintalah nomor saya pada Nani. Saya harus buru-buru pulang sekarang, mau sekalian jemput istri," senyumnya lalu pamit setelah membayar tiga gelas cappuccino dan dua piring camilan yang kami pesan tadi.