Aku termenung-menung.
"Gimana, nyenengin kan, Pak Marwan? Dia tu nggak pernah marah. Kalaupun paper yang aku bikin jelek, dia pasti njelasin satu-satu dengan sabar banget. Pokoknya dosen idola senantiasa," puji Nani.
Hmmm, aku kini paham kenapa Tante Erlin bisa sampai terkiwir-kiwir. Dosen itu jelas adalah kawan ngobrol yang sangat menyenangkan. Wawasannya luas. Dan ia pandai membuat teman bicaranya merasa jadi orang yang istimewa. Marwan adalah racun yang sangat berbahaya.
Tiga hari sudah sejak bertemu dengan Marwan, aku tak bisa tidur nyenyak. Aku memikirkan bagaimana membalas kejahatannya yang sudah menyakiti Tante Erlin. Aku harus bisa membalas rasa sakit hati tanteku tersayang.
"Pak Marwan, ini Hiro. Bagaimana kalau nanti sore kita ngobrol sambil minum cappuccino lagi? Cappuccinonya benar-benar enak dan ngangenin," tulisku tanpa pikir panjang di chat whatsapp.
Aku menunggu balasan Marwan sambil memikirkan tentang racun yang harus kutelan. Apakah racun itu nantinya membuat hatiku patah seperti tante ... ataukah aku mampu mengeluarkan racun yang lebih mematikan untuk menjerat Marwan?
Detik-detik di mana kulihat notif "Marwan mengetik" di layar ponselku, membuat napasku memburu. Haruskah aku teruskan, atau haruskah aku berhenti sampai di sini?**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI