"Mas, lalu kenapa Mas Anang baru mengatakan semua itu sekarang? Kenapa mas? Kenapa nggak dari awal kita ketemu mas langsung ngomong seperti itu?"
"Dek, udahlah! Dari awal kamu yang udah menggoda mas!"
Hatiku bagai dihujam pisau dan disayat-sayat. Dia bilang aku 'menggoda'. Apa dia tidak ingat bagaimana dulu dia mengejar-ngejar aku? Ternyata hanya sampai disitu dia menilaiku. Dia hanya menganggapku sebagai wanita penggoda. Sakitnya hatiku sudah sampai yang paling dalam. Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Air mataku tumpah ruah, membuatku sulit bicara.
Aku lalu berlutut di hadapannya dan memeluk kedua kakinya. Aku memohon padanya, selagi masih bisa memohon, Baiklah, tidak apa-apa dia menyebutku sebagai wanita jalang, bahkan wanita murahan sekalipun. Aku tidak peduli dengan istri dan anaknya, Entah iblis mana yang meracuniku. Kali ini aku hanya peduli pada perasaanku yang sedang sakit ini.
"Mas, Rima mohon. Jangan pernah tinggalin Rima. Rima rela jadi yang kedua. Rima mohon mas ..."
"Rima, lepasin mas!"
"Nggak! Rima nggak akan lepasin mas!" Aku terus memeluk kaki mas Anang seerat-eratnya. Aku menangis dan terus menangis, merengek seperti anak kecil.
"Dengar Rima, buat mas kamu ini hanya untuk iseng! Kamu nggak ada artinya apa-apa untuk mas! Kamu murahan!"
Tanganku mendadak lemas, Mas Anang menendangku hingga tersungkur. Dia pergi begitu saja meninggalkanku meringkuk sendiri di pinggir pantai.
Seluruh kekecewaan yang mendalam tertumpuk dalam hatiku. Hatiku sakit, sakit sekali. Untuk kesekian kalinya, laki-laki yang aku cintai hanya mencintai tubuhku.
Dan kini senja yang semakin tenggelam, mengiringi jatuhnya air mataku.