Mohon tunggu...
Indah Anggoro
Indah Anggoro Mohon Tunggu... -

drink coffee and get inspiration ...\r\n\r\nwww.vanilaindah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arimbi Menangis

7 Mei 2012   02:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku seorang gadis berumur 20 tahun yang berbadan indah. Kulitku putih dan wajahku cantik. Aku keturunan Sunda-Jawa. Namaku Arimbi.

Tidak seperti tokoh pewayangan Dewi Arimbi yang kuat. Arimbi yang satu ini adalah gadis yang lemah. Dewi Arimbi adalah sosok yang bertarung sampai mati dalam Perang Bhatarayuda demi melindungi putranya, Gatotkaca. Aku tidak seperti Dewi Arimbi. Aku gadis yang cengeng. Aku tidak pernah kuat dalam menghadapi masalah apapun yang hadir dalam hidupku.

Jika Dewi Arimbi gugur dalam peperangan untuk membela putranya. Arimbi yang ini justru gugur dalam percintaan demi membela perasaannya sendiri.

Kata orang-orang yang melihatku, aku adalah gadis yang tegar. Mereka salah, aku sangat rapuh. Tapi aku selalu berusaha terlihat kuat di depan mereka.

Tidak ada yang salah dengan diriku dan hidupku. Semuanya normal, yang salah adalah cintaku. Jika cinta tidak pernah salah kenapa aku harus mencintai Mas Anang.

***

Malam ini aku menemani Mas Anang dinas ke luar kota. Aku memang sudah terbiasa pergi bersama Mas Anang hingga ke luar kota, bahkan sampai menginap. Suasana di jalan raya sangat ramai, meskipun sudah larut malam. Aku kedinginan di dalam mobil, karena Mas Anang menghidupkan AC mobilnya hingga paling pol. Aku terus saja bersandar di bahunya, Bahu Mas Anang yang hangat cukup menyelamatkanku.

"Mas, kapan kamu mau menepati janji kamu?" Tanyaku lirih pada Mas Anang yang sedang konsentrasi menyetir.

"Dek, jangan bahas itu dulu."

"Kenapa mas? Rima salah bertanya seperti itu? Mas Anang sendiri kan yang sudah janji sama Rima."

"Dek, maksud mas bukan seperti itu. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu."

"Terus kapan waktunya yang tepat mas? Rima lelah seperti ini terus."

"Rima, dengarkan mas... Mas pasti akan segera menceraikan Syifa."

"Mas, tolong ... Jangan buat Rima lelah menunggu."

"Iya Rima, mas janji. Mas akan cari waktu yang tepat. Mas akan menikahi kamu."

Aku menatap dalam-dalam mata kekasih gelapku itu. Aku tidak tahu apakah dia sungguh-sungguh dengan ucapannya atau tidak.

***

Musim sudah berganti dan aku masih saja menunggu kepastian. Entah apakah Mas Anang itu adalah laki-laki yang layak untuk ditunggu atau tidak. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya peduli pada cintaku. Aku sudah terlanjur 'kecemplung' dalam cinta terlarang ini. Aku tidak mau sia-sia. Aku harus memperjuangkannya.

Siang ini saja aku harus merengek pada Mas Anang supaya dia bisa menemaniku makan siang. Mas Anang hari ini sangat cuek padaku. Dia tidak menyapaku sama sekali. Tersenyum pun tidak. Padahal, dia yang biasanya selalu mencari-cari aku. Dia sering diam-diam menciumku, memelukku, bahkan kami tidak pernah sekalipun melewatkan makan siang bersama. Kali ini Mas Anang terlihat berbeda.

"Mas, makan siang yuk." Ajakku pada Mas Anang yang masih berkutat di depan monitor computer.

"Dek, kamu makan siang sendiri saja. Mas lagi banyak kerjaan." Ujar Mas Anang sedikit ketus. Bahkan dia tidak berani menatap mataku.

"Mas, sibuk apa sih?" Aku menghampiri ke mejanya. Dia memang terlihat sedang mengutak-atik laporan keuangan di layar computer. Namun, aku bertanya-tanya dalam hati. Biasanya tidak seperti ini, bahkan dulu ketika deadline laporan tinggal beberapa jam saja dia masih bisa meluangkan waktu untuk makan siang denganku.

"Lihat saja sendiri." Jawab Mas Anang.

"Hmm, biasanya sesibuk apapun juga masih bisa makan siang bareng."

"Dek, aku benar-benar sibuk! Apa kamu harus selalu makan siang sama mas!! Kamu kan bisa makan siang dulu sama yang lainnya!!"

Mataku berkaca-kaca. Tatapan Mas Anang yang penuh kasih seperti biasanya tidak kulihat kali ini. Sorot matanya kali ini benar-benar penuh amarah. Aku hanya bertanya kenapa tiba-tiba dia menjadi sok sibuk dan tidak seperti biasanya, tapi dia malah membentakku.

Aku langsung berlari keluar dari ruangannya, dan dia sama sekali tidak mengejarku. Aku tidak kuat lagi, aku menangis sedeas-derasnya di toilet. Di tempat itu tidak ada seorang pun yang akan melihatku. Seumur-umur aku tidak pernah dibentak seperti itu oleh Mas Anang ...

***

Sudah berhari-hari aku tidak bertegur sapa dengan Mas Anang. Sejak dia membentakku, aku merasa takut dengannya. Walaupun aku rindu dengannya. Perasaanku sangat janggal. Biasanya dia tidak betah bila tidak menelponku atau mengirimiku pesan singkat. Kali ini kami putus komunikasi, kecuali untuk urusan pekerjaan. Akhir-akhir ini sikapnya sangat dingin padaku. Aku tidak mengerti apa maksud Mas Anang tega bersikap seperti ini padaku.

Sepulang dari kantor sore ini aku mendapat SMS dari Mas Anang. Ini SMS pertama yang dia kirimkan sejak kami tidak pernah bertegur sapa. Di SMS itu, Mas Anang mengajakku bertemu di pesisir pantai. Dia bilang ingin berbicara serius denganku.

Hatiku diliputi berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya akan Mas Anang sampaikan padaku? Apakah dia ingin melamarku di pinggir pantai saat sunset seperti di film-film? Aku tidak mau terlalu berharap. Aku membuyarkan lamunanku dan segera beranjak.

Belum sempat mengganti baju kerjaku, aku langsung meluncur ke pantai dengan menggunakan motorku.

***

Aku melihat sosok Mas Anang dari kejauhan. Mas Anang berdiri di tepi pantai sambil menatap senja yang kemerahan. Sorot matanya tajam sekali saat menangkap kedatanganku.

Aku memepercepat langkah kakiku untuk menghampirinya. Sore ini Mas Anang terlihat berbeda. Saat berdiri disampingnya aku merasakan nafasnya yang begitu berat.

"Mas, ada apa?" Tanyaku langsung pada Mas Anang. Aku tidak ingin berlama-lama dalam rasa penasaran.

"Dek, sepertinya hubungan kita harus berakhir."

Aku merasa urat nadiku putus detik itu juga. Air mataku menetes begitu saja. Apa maksud Mas Anang? Dia yang sudah berjanji padaku. Apa dia sudah lupa dengan janji-janjinya?

"Mas, maksud mas apa?" Tanyaku terbata-bata sambil mengontrol air mataku yang berhamburan.

"Kamu jangan ganggu hidup aku lagi dek."

"Maksud mas, Rima selama ini cuma jadi pengganggu hidup mas, gitu?"

"Dek, sekarang mas ingin lebih peduli sama keluarga mas, istri dan anak mas. Mas nggak bisa terus-terusan seperti ini bersama kamu dek."

"Apa? Nggak mungkin mas. Mas bilang mas udah nggak cinta lagi sama Syifa. Mas bilang mas akan menceraikan Syifa. Mas lupa sama janji-janji mas?"

"Dek, dalam rumah tangga, cinta bukan lagi yang nomer satu. Yang paling penting adalah anak. Ini semua demi anak mas."

"Mas, lalu kenapa Mas Anang baru mengatakan semua itu sekarang? Kenapa mas? Kenapa nggak dari awal kita ketemu mas langsung ngomong seperti itu?"

"Dek, udahlah! Dari awal kamu yang udah menggoda mas!"

Hatiku bagai dihujam pisau dan disayat-sayat. Dia bilang aku 'menggoda'. Apa dia tidak ingat bagaimana dulu dia mengejar-ngejar aku? Ternyata hanya sampai disitu dia menilaiku. Dia hanya menganggapku sebagai wanita penggoda. Sakitnya hatiku sudah sampai yang paling dalam. Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Air mataku tumpah ruah, membuatku sulit bicara.

Aku lalu berlutut di hadapannya dan memeluk kedua kakinya. Aku memohon padanya, selagi masih bisa memohon, Baiklah, tidak apa-apa dia menyebutku sebagai wanita jalang, bahkan wanita murahan sekalipun. Aku tidak peduli dengan istri dan anaknya, Entah iblis mana yang meracuniku. Kali ini aku hanya peduli pada perasaanku yang sedang sakit ini.

"Mas, Rima mohon. Jangan pernah tinggalin Rima. Rima rela jadi yang kedua. Rima mohon mas ..."

"Rima, lepasin mas!"

"Nggak! Rima nggak akan lepasin mas!" Aku terus memeluk kaki mas Anang seerat-eratnya. Aku menangis dan terus menangis, merengek seperti anak kecil.

"Dengar Rima, buat mas kamu ini hanya untuk iseng! Kamu nggak ada artinya apa-apa untuk mas! Kamu murahan!"

Tanganku mendadak lemas, Mas Anang menendangku hingga tersungkur. Dia pergi begitu saja meninggalkanku meringkuk sendiri di pinggir pantai.

Seluruh kekecewaan yang mendalam tertumpuk dalam hatiku. Hatiku sakit, sakit sekali. Untuk kesekian kalinya, laki-laki yang aku cintai hanya mencintai tubuhku.

Dan kini senja yang semakin tenggelam, mengiringi jatuhnya air mataku.

***

Ibu mengelus-elus rambutku di pangkuannya. Dia menguatkan hatiku. Ibu sudah berkali-kali bilang padaku bahwa Mas Anang pasti akan kembali pada istrinya. Seperti ayah yang selalu kembali pada ibu, meski sudah berkali-kali ketahuan selingkuh ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun