"Terus kapan waktunya yang tepat mas? Rima lelah seperti ini terus."
"Rima, dengarkan mas... Mas pasti akan segera menceraikan Syifa."
"Mas, tolong ... Jangan buat Rima lelah menunggu."
"Iya Rima, mas janji. Mas akan cari waktu yang tepat. Mas akan menikahi kamu."
Aku menatap dalam-dalam mata kekasih gelapku itu. Aku tidak tahu apakah dia sungguh-sungguh dengan ucapannya atau tidak.
***
Musim sudah berganti dan aku masih saja menunggu kepastian. Entah apakah Mas Anang itu adalah laki-laki yang layak untuk ditunggu atau tidak. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya peduli pada cintaku. Aku sudah terlanjur 'kecemplung' dalam cinta terlarang ini. Aku tidak mau sia-sia. Aku harus memperjuangkannya.
Siang ini saja aku harus merengek pada Mas Anang supaya dia bisa menemaniku makan siang. Mas Anang hari ini sangat cuek padaku. Dia tidak menyapaku sama sekali. Tersenyum pun tidak. Padahal, dia yang biasanya selalu mencari-cari aku. Dia sering diam-diam menciumku, memelukku, bahkan kami tidak pernah sekalipun melewatkan makan siang bersama. Kali ini Mas Anang terlihat berbeda.
"Mas, makan siang yuk." Ajakku pada Mas Anang yang masih berkutat di depan monitor computer.
"Dek, kamu makan siang sendiri saja. Mas lagi banyak kerjaan." Ujar Mas Anang sedikit ketus. Bahkan dia tidak berani menatap mataku.
"Mas, sibuk apa sih?" Aku menghampiri ke mejanya. Dia memang terlihat sedang mengutak-atik laporan keuangan di layar computer. Namun, aku bertanya-tanya dalam hati. Biasanya tidak seperti ini, bahkan dulu ketika deadline laporan tinggal beberapa jam saja dia masih bisa meluangkan waktu untuk makan siang denganku.