Aku menemuinya setelah menikmati riuh pesta pora di kepala. Menghapus titik titik yang merembes dari sudut mata, tak urung kutarik juga sebuah kursi di depannya duduk. Menjemput resah yang aku khawatirkan jauh jauh hari, aku menatap matanya dengan kembali berkaca kaca.
Dua hari yang lalu, aku memulai untuk terus bersedih setelah mengintainya diam diam. Dipeluk seorang gadis bergaun selutut warna merah. Meski tak hanya sekali ini kuperhatikan ia sering berlama lama menemui perempuan lain, namun kurasa ini adalah bagian terpedih yang pernah ada.
      "Tia, aku mau bicara" katanya.
Aku mengangguk, namun menolak saat ia meraih jemariku untuk ia genggam.
      "Orang tua kita" katanya kemudian.
Aku kembali tersedu.
Kutatap langit langit, seolah ingin kembali menuang air mata yag telah riuh kutumpahkan.
      "Kita harus segera pulang, menyelesaikan semuanya".
Aku juga ingin begitu, batinku.
      "Kamu bersedia kan? Tia"
Kukatakan aku mau pergi setelah tuntas mengurus segala berkas untuk upacara kelulusan minggu depan.