Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Cinta Tak Terelak Pada Penjual Seblak

6 Juni 2016   20:58 Diperbarui: 6 Juni 2016   21:23 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oh, pantes! Nggak pernah kelihatan juga,” ujar Mentari manggut-manggut. Tak lama kulihat ia telah menyelesaikan pesanan lalu menyerahkannya pada si pembeli.

“Pedas kan, Kang?” tanyanya ke arahku.

Aku mengangguk. “Iya. Biasa.”

Mentari tersenyum lalu berbalik. Kuperhatikan ia yang mengambil bumbu yang telah disiapkan lalu memasukkan ke dalam penggorengan. Sejujurnya cara membuat seblak itu mudah, Mama pernah mengajariku. Yang terpenting bahan dasar kerupuknya sudah direndam air panas, selanjutnya tinggal dioseng dengan bumbu. Seblak memang identik dengan pedas, tetapi tetap tingkat kepedasannya juga disesuaikan dengan lidah kita.

“Kok ini sepi ya, Tar?” Aku celingukan.

“Masih pagi, Kang. Nanti agak siangan juga rame.”

“Oh gitu. Berarti makin sukses ya.”

“Amin. Amin, Kang. Mudah-mudahan aja. Ya lumayan buat nambah uang dapur. Sekarang kan makin mahal apa-apa, Kang.”

“Iya.” Ucapku lirih. Kedekatan kami beberapa waktu lalu, membuatku sedikit tahu tentang keluarga. Ayah Ibu Mentari berpisah karena adanya orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Dan sialnya, Ayahnya terlalu dimabuk cinta sehingga tega mengusir Ibu Mentari dari rumah bersama keempat anaknya. Mentari yang tertua, jadi ia mengambil peran membantu ibunya untuk menafkahi seluruh anggota keluarga.

Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengamati Mentari yang tampak asyik membuat pesananku. Cantik, bisikku dalam hati. Tidak hanya wajah juga hatinya. Ia tahu betul sebagai anak, ia harus membantu Ibunya. Bakti. Jika anak lain mungkin belum tentu tak peduli, beda dengan Mentari. Ia bahkan tak pernah mengeluh.

Bersyukur, Kang udah dikasih hidup. Ngapain ngeluh! Bikin capek aja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun