Hal inilah yang memunculkn simpatiku sehingga menumbuhkan perasaan yang tak biasa. Ngomong-ngomong sepertinya aku tak bisa melenyapkan perasaan ini. Yang ada justru semakin tumbuh subur.
Ah, urusan Mama nanti yang penting sekarang soal hati. Aku harus mengatakan perasaanku, tekadku dalam hati. Sungguh, aku tak lagi dapat menahan perasaan ini. Segera dan secepatnya akan kujadikan Mentari milikku.
“Tari!”
“Mas Alif.”
Spontan aku menoleh. Tampak seorang lelaki menghampiri Mentari. Lelaki itu tersenyum dan tak lama Mentari dengan takzim menyalaminya. Kedua alisku bertaut seketika.
“Dari mana, Mas? Kok udah nyampe sini?”
“Aku libur hari ini. Jadi nggak ada salahnya kalau ke sini.”
“Oh gitu.”
Sekilas kutangkap binar senang di wajah Mentari. Ia terlihat sumringah. Bahagia. Perasaanku mendadak tak enak. Ada apa ini? Siapa lelaki itu?
“Ehm,” aku berdeham. Kontan kedua kepala menoleh. Mentari tersenyum.
“Eh, Kang ini kenalin Mas Alif,” Refleks aku berdiri karena lelaki itu tersenyum dan mengulurkan tangan, “Dan Mas, ini Kang Rido. Langgananku. Mahasiswa kampus depan.”