Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Cinta Tak Terelak Pada Penjual Seblak

6 Juni 2016   20:58 Diperbarui: 6 Juni 2016   21:23 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.kompasiana.com/fiksianacommunity

Imas Siti Liawati No. 38

“Wew, Mentari makin cantik aja tuh!”

Keningku mengerut. “Maksud lo?” tanyaku pada Dirga, sahabat karibku.

“Tuh lihat!” kepala Dirga terangkat sedikit. Ia mengarahkan pandangan lurus ke depan. Aku pun mengikutinya. Tampak deretan pedagang kaki lima memenuhi sisi kiri jalan tepat di seberang kampusku.

“Makin banyak kan pelanggannya kan? Rata-rata cowok lagi. Itu berarti pesonanya makin memancar. Makin cantik. Eh, tapi emang dia cantik sih!” sambung Dirga lagi.

Aku diam tak menanggapi. Pandanganku masih belum beralih. Satu dari beberapa gerobak pedagang kaki lima memang tampak lebih ramai. Dan aku tahu betul pemiliknya.

Seblak Mentari

Mentari belum ada sebulan bergabung dengan para pedagang kaki lima yang mangkal di seberang kampusku. Namun sejak awal kehadirannya sudah mencuri perhatian banyak orang. Khususnya kaum laki-laki. Tutur katanya yang lembut dan ramah serta wajahnya yang ayu memang menjadi nilai tambah. Selain memang karena seblak, penganan yang berbahan dasar kerupuk itu masih sangat jarang ditemui di daerahku. Jadi wajarlah kian hari kian banyak peminat yang ingin mencobanya.

“Si Mentari itu harusnya bisa jadi model ya, ketimbang cuma dagang di pinggir jalan.”

Aku menoleh dan menatap Dirga yang tengah menggelengkan kepalanya. Harus kuakui kebenaran kata-kata Dirga. Mentari memang cantik. Wajahnya yang rupawan serta kulit yang putih sebenarnya sudah bisa membuatnya menjadi seorang artis. Tetapi sepertinya nasib tidak membawanya ke sana.

“Ke sana, Yuk!” Dirga berdiri tiba-tiba. “Enak nih kayaknya makan pedas-pedas.”

Aku menggeleng. “Males, ah! Lo aja.”

Dirga mengernyit heran. Alis kirinya terangkat, “Tumben? Bukannya lo paling doyan ya!”

Bagiku, seblak sebenarnya bukan penganan baru. Mama yang asli Bandung sering kali membuatnya untuk camilan keluarga. Jadi ketika gerobak seblak Mentari mulai mangkal, aku paling antusias. Nyaris setiap hari aku membelinya. Rasanya kuakui memang sangat enak. Hitung-hitung mengobati kerinduanku pada seblak bikinan Mama di kampung halaman.

Tetapi satu yang kulupakan. Pepatah orang Jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino, pun akhirnya berimbas padaku. Sejujurnya sejak awal wajah cantiknya sudah memikat, tetapi karena seringnya aku mengajaknya mengobrol di sela-sela melayani pesanan, kami jadi lebih dekat.  Nah kedekatan ini lah yang akhirnya memunculkan gelenyar aneh di hatiku. Dan aku bukan bukan lagi anak-anak yang tak tahu apa artinya. Jelas sudah, kehadiran Mentari mengusik hati dan jiwaku.

“Bener nih nggak mau?” Dirga masih penasaran. Aku menggeleng.

“Nggak deh. Gue mau langsung ke dekanat aja. Ada berkas KKN gue belum lengkap.” jawabku sambil ngeloyor pergi. Sungguh, rasanya itu tak nyaman. Niat hati ingin mengikuti Dirga tapi logika menolak.

Demi Tuhan, ia cuma seorang penjual seblak.

Mama bisa jantungan kalau aku berpacaran dengan gadis itu, gumamku dalam hati.

Aku terlahir pada keluarga kaya dan terpandang. Jenjang pendidikanku pun cukup tinggi. Jadi…, argh, sudahlah! Segera dan secepatnya aku harus melenyapkan perasaan ini.

***

Kupikir setelah lebih dari tiga bulan disibukkan dengan KKN, perasaanku pada Mentari perlahan memudar. Tapi nyatanya, justru sekembalinya aku ke kampus, melihat dirinya adalah keinginan terbesarku. Maka tak menunggu lama, sesaat setelah memarkir motor aku pun segera menyeberang menuju tempat Mentari.

“Hai, Tari!”

Mentari yang tengah asyik berkutat dengan penggorengan mendongak. Sesaat dapat kutemukan keterkejutan di wajah cantiknya.

“Kang Rido!” serunya tak percaya. Aku mengangguk dan tersenyum.

“Ya ampun Kang, kemana wae? Lama atuh nggak mampir ke sini? Udah bosen ya sama seblaknya Tari?” cerocos Mentari lagi.

Aku nyengir. “Lagi KKN, Tar. Jadi kan nggak ada di kampus juga,”

“Oh gitu. Tari kira lupa sama Tari. Eh, Mbak pedas apa nggak?” katanya sambil melayani pesanan pembeli.

Aku tersenyum tipis lalu mendudukkan diri di kursi plastic berwarna hijau yang memang sengaja disiapkan untuk pembeli saat menunggu pesanan selesai.

“Eh, ini Akang mau beli seblak?” tanya Mentari setelah menyadari aku yang berpindah tempat.

Kuanggukkan kepala menjawab pertanyaannya. “Iya.”

“Ok. Tapi sabar ya. Eh, ngomong-ngomong Mas Dirga mana, Bang? KKN juga ya?”

Keningku mengernyit sesaat. “Dirga? Iya. Kita kan satu angkatan.”

“Oh, pantes! Nggak pernah kelihatan juga,” ujar Mentari manggut-manggut. Tak lama kulihat ia telah menyelesaikan pesanan lalu menyerahkannya pada si pembeli.

“Pedas kan, Kang?” tanyanya ke arahku.

Aku mengangguk. “Iya. Biasa.”

Mentari tersenyum lalu berbalik. Kuperhatikan ia yang mengambil bumbu yang telah disiapkan lalu memasukkan ke dalam penggorengan. Sejujurnya cara membuat seblak itu mudah, Mama pernah mengajariku. Yang terpenting bahan dasar kerupuknya sudah direndam air panas, selanjutnya tinggal dioseng dengan bumbu. Seblak memang identik dengan pedas, tetapi tetap tingkat kepedasannya juga disesuaikan dengan lidah kita.

“Kok ini sepi ya, Tar?” Aku celingukan.

“Masih pagi, Kang. Nanti agak siangan juga rame.”

“Oh gitu. Berarti makin sukses ya.”

“Amin. Amin, Kang. Mudah-mudahan aja. Ya lumayan buat nambah uang dapur. Sekarang kan makin mahal apa-apa, Kang.”

“Iya.” Ucapku lirih. Kedekatan kami beberapa waktu lalu, membuatku sedikit tahu tentang keluarga. Ayah Ibu Mentari berpisah karena adanya orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Dan sialnya, Ayahnya terlalu dimabuk cinta sehingga tega mengusir Ibu Mentari dari rumah bersama keempat anaknya. Mentari yang tertua, jadi ia mengambil peran membantu ibunya untuk menafkahi seluruh anggota keluarga.

Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengamati Mentari yang tampak asyik membuat pesananku. Cantik, bisikku dalam hati. Tidak hanya wajah juga hatinya. Ia tahu betul sebagai anak, ia harus membantu Ibunya. Bakti. Jika anak lain mungkin belum tentu tak peduli, beda dengan Mentari. Ia bahkan tak pernah mengeluh.

Bersyukur, Kang udah dikasih hidup. Ngapain ngeluh! Bikin capek aja!

Hal inilah yang memunculkn simpatiku sehingga menumbuhkan perasaan yang tak biasa. Ngomong-ngomong sepertinya aku tak bisa melenyapkan perasaan ini. Yang ada justru semakin tumbuh subur.

Ah, urusan Mama nanti yang penting sekarang soal hati. Aku harus mengatakan perasaanku, tekadku dalam hati. Sungguh, aku tak lagi dapat menahan perasaan ini. Segera dan secepatnya akan kujadikan Mentari milikku.

“Tari!”

“Mas Alif.”

Spontan aku menoleh. Tampak seorang lelaki menghampiri Mentari. Lelaki itu tersenyum dan tak lama Mentari dengan takzim menyalaminya. Kedua alisku bertaut seketika.

“Dari mana, Mas? Kok udah nyampe sini?”

“Aku libur hari ini. Jadi nggak ada salahnya kalau ke sini.”

“Oh gitu.”

Sekilas kutangkap binar senang di wajah Mentari. Ia terlihat sumringah. Bahagia. Perasaanku mendadak tak enak. Ada apa ini? Siapa lelaki itu?

“Ehm,” aku berdeham. Kontan kedua kepala menoleh. Mentari tersenyum.

“Eh, Kang ini kenalin Mas Alif,” Refleks aku berdiri karena lelaki itu tersenyum dan mengulurkan tangan, “Dan Mas, ini Kang Rido. Langgananku. Mahasiswa kampus depan.”

“Alif.”

“Rido.”

Satu yang kutemukan dari lelaki di depanku adalah ketenangan. Kutaksir mungkin usianya menjelang 30an. Lelaki dewasa, huh!

“Mas Alif ini calon suamiku, Kang dan Kami akan menikah dua minggu lagi.”

Tubuhku menegang seketika. Secepat kilat aku menoleh dan menemukan Mentari yang mengulas senyum bahagia. “Eh, nanti Kang Rido datang ya,”

Bohong-bohong!

Ya Tuhan, ini mimpi kan?

 “Eh, Mas bawa undangan nggak? Kalau ada kasih Kang Rido biar nanti dia bisa dat…”

Aku tak dapat lagi mendengar kelanjutan kata-kata Mentari. Karena selanjutnya yang kutahu kegelapan menyapaku dan sedetik sebelum tubuhku ambruk masih kudengar teriakan panik Mentari.

Ah, menyakitkan sekali kisah cintaku ini…

***

Karya diikutsertakan pada event Fiksi Kuliner Fiksiana Community 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun