“Oh, pantes! Nggak pernah kelihatan juga,” ujar Mentari manggut-manggut. Tak lama kulihat ia telah menyelesaikan pesanan lalu menyerahkannya pada si pembeli.
“Pedas kan, Kang?” tanyanya ke arahku.
Aku mengangguk. “Iya. Biasa.”
Mentari tersenyum lalu berbalik. Kuperhatikan ia yang mengambil bumbu yang telah disiapkan lalu memasukkan ke dalam penggorengan. Sejujurnya cara membuat seblak itu mudah, Mama pernah mengajariku. Yang terpenting bahan dasar kerupuknya sudah direndam air panas, selanjutnya tinggal dioseng dengan bumbu. Seblak memang identik dengan pedas, tetapi tetap tingkat kepedasannya juga disesuaikan dengan lidah kita.
“Kok ini sepi ya, Tar?” Aku celingukan.
“Masih pagi, Kang. Nanti agak siangan juga rame.”
“Oh gitu. Berarti makin sukses ya.”
“Amin. Amin, Kang. Mudah-mudahan aja. Ya lumayan buat nambah uang dapur. Sekarang kan makin mahal apa-apa, Kang.”
“Iya.” Ucapku lirih. Kedekatan kami beberapa waktu lalu, membuatku sedikit tahu tentang keluarga. Ayah Ibu Mentari berpisah karena adanya orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Dan sialnya, Ayahnya terlalu dimabuk cinta sehingga tega mengusir Ibu Mentari dari rumah bersama keempat anaknya. Mentari yang tertua, jadi ia mengambil peran membantu ibunya untuk menafkahi seluruh anggota keluarga.
Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengamati Mentari yang tampak asyik membuat pesananku. Cantik, bisikku dalam hati. Tidak hanya wajah juga hatinya. Ia tahu betul sebagai anak, ia harus membantu Ibunya. Bakti. Jika anak lain mungkin belum tentu tak peduli, beda dengan Mentari. Ia bahkan tak pernah mengeluh.
Bersyukur, Kang udah dikasih hidup. Ngapain ngeluh! Bikin capek aja!