Laki-laki itu tersenyum ramah. "Kok lama? Hampir saja tempat duduknya diambil orang lain. Untung saya usir."
“Ya. Terima kasih. Mau ambil tas," kata Jamak.
"Aduh iya. Hati-hati kalau menaruh barang, Apalagi kalau di dalamnya ada uang. Tempat seperti ini tidak aman. Sulit membedakan siapa yang maling siapa yang bukan. Dijaga ketat saja barang itu bisa hilang."
"Terima kasih. Permisi dulu," Jamak mengangkat tasnya.
"Lho mau ke mana? Di sini saja daripada di sana berdiri. Apa karena terganggu saya? Silakan duduk saya saja yang pindah," kata laki-laki itu.
"Oh. Tidak. Di situ saja," kataku menyuruh tetap duduk.
Jamak yakin laki-laki itu bukan seperti yang dibisikkan kepadanya, juga bukan laki-laki brewokan seperti yang dikatakan orang di sambungan gerbong tadi. Malah ia menjadi yakin kalau laki-laki ini seorang polisi, intel.
“Sekarang ini, apalagi kebutuhan hidup sedang melonjak-lonjak, banyak orang macam saya berkeliaran. Bukan sekedar banyak, tapi ombyokan. Baik dasarnya memang maling tapi banyak juga yang karena kepepet. Tetapi saya tidak akan melakukan terhadap orang udik karena saya sendiri memang juga orang udik. Saya pikir saya akan merasa senasib dengannya."
Laki-laki ini ternyata banyak omongnya juga. Ia bercerita terus tentang pengalaman-pengalaman melakukan aksinya. Tetapi ia tak pernah menyinggung-nyinggung tentang Jamak.
***
Kelelahan dan terpaan semilir angin dari celah jendela membuat Jamak tak sampai mendengar seluruh ceritanya. Ia terkantuk, Kemudian tertidur dan bangun saat menjelang stasiun kotanya. Ia pun tidak melihat lagi laki-laki brewokan itu. Mungkin telah turun, entah di stasiun mana.