Jamak tak menjawab. Pertanyaan ini dirasakan sangat menekannya. Jamak pura-pura tidak mendengar. Laki-laki itu malah mendekatinya. "Sampean dari Ibu Kota?"
Jamak terkejut. "Kok tahu?"
"Kelihatan kalau orang dari Ibu Kota. Sampean akan mudik kan?"
Sekalipun hanya dengan pertanyaan sepele semacam itu, Jamak tak siap menghadapinya. Kata-katanya gemetar. "Kok tahu?"
"Kelihatan kalau orang mau mudik."
Laki-laki itu memutar-mutar rokoknya di sela-sela jarinya. "Ibu Kota memang keras!" katanya seperti menirukan pikiran Jamak. "Tapi kata orang Ibu Kota hebat. Dewa harapan. Apa saja bisa didapat. Apa saja bisa dikerjakan. Apa saja bisa jadi duit. Menjanjikan kebesaran. Saya kira benar, saya saja tiba-tiba bisa jadi seperti ini." Ia tertawa.
Jamak perlahan-lahan memperhatikan laki-laki itu. Ia menafsir laki-laki itu seorang yang telah mapan kerjanya. Akhirnya Jamak bertanya juga, meski ragu, "Kerja apa, Mas?"
"Kerja?"
"Ya..."Â
Laki-laki brewokan itu tampak ragu. Lalu menggeser tempat duduknya, dan mendekatkan mulutnya pada telinga Jamak. Ia membisikkan nada-nada bangga. Hanya Jamak yang mendengar.
Mendadak tubuh Jamak panas-dingin. Kandung kemihnya menekan-nekan. "Maaf saya ke belakang dulu."