Ya. Ya. Markasan memang sudah terpengaruh para iblis, temannya itu. Orang-orang yang dianggap tua tidak bisa memperingatkannya. “Orang pintar” yang dulu diminta membantunya sudah angkat tangan.
Tetapi, waktu selalu tidak dapat ditebak. Sore itu menjelang magrib, Markasan memergoki salah satu demit temannya masuk perusahaan eternit. Ada apa ia kesana?
Esok paginya Markasan mencoba telepon perusahan eternit itu.
“Halo. Saya Petinggi Markasan.”
“Oh, ya Pak. Beres. Jam sepuluh dikirim langsung ke rumah Bapak 20 sak semen.” Kata yang diseberang sana.
“Semen apa? Sampeanini siapa?”
“Saya Kepala Gudang, Pak. Kemarin menjelang maghrib Bapak kan datang, katanya perlu semen 20 sak. Sudah saya konsultasikan dengan atasan, dan tidak ada masalah.”
“Siapa yang menemuimu kemarin?”
“Pak Petinggi.”
Markasan gemetar disebut di ujung telepon.
“Bukan, itu makhluk lain barangkali.”