Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Demit Penghuni Kantor Desa

9 Mei 2016   22:12 Diperbarui: 9 Mei 2016   22:15 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Diorama Eugene Dubois, karya Ruly Handoyo

Ada orang yang percaya tentang makhluk sebangsa iblis, demit, atau gondoruwo, tetapi. Bagi yang tidak percaya, simaklah cerita ini.

Di sebuah desa di kaki Gunung Putri, tersiar kabar sejak lama kalau Kantor Desa-nya dihuni makhluk halus, sebangsa iblis. Tetapi orang-orang di desa itu lebih suka mengatakan Demit untuk makhluk yang ada di Kantor Desa-nya. Sebagian penduduk, kabarnya, ada yang sudah melihat langsung bentuk makhluk itu. Sebagian lagi mendengar saja cerita dari mulut ke mulut, turun temurun.

            Namun, Markasan, Kepala Desa yang baru saja dilantik tidak percaya kalau di Kantor Desa ada makhluk halus penghuninya. Ia berkata kepada Kamituwo (Kepala Dusun), “Itu cerita orang yang kurang kerjaan. Makhluk halus, iblis, demit, atau apa pun namanya, itu hanya mitos.”

            Kamituwo, yang juga baru saja dilantik, tidak membantah karena tidak begitu paham yang dikatakan atasannya. Apa itu mitos? Markasan memang mengerti artinya karena dulu dia orang sekolahan, tamat jadi sarjana muda. Sedang Kamituwo hanya SR (Sekolah Rakyat) yang sehari-hari bergulat dengan lumpur sawah. Kalau pun punya ijasah setingkat SMA, ia mendaptkanya dari Paket C.

            “Untuk memajukan desa ini, kita sebagai pejabat desa tidak boleh ikut-ikutan termakan pikiran macam itu. Coba lihat, sebelum saya menjadi Kepala Desa disini, banyak orang yang datang ke kantor ini. Bukan untuk ngurus surat kelahiran anaknya, atau bayar pajak, atau minta surat pindah. Eh! Malah bakar dupa dan kemenyan untuk mencari nomor buntutan. Kalau begini caranya, kita ini akan menjadi masyarakat kelas berapa?”

            Pak Kamituwo hanya, ya, ya dan iya.

            “Nah, Pak Kamituwo, saya berharap hari Minggu ini Bapak mengkoordinir teman-teman yang lain untuk bersih-bersih kantor. Temboknya semua dicat yang cerah, di setiap sudut dikasih lampu yang terang. Ramai-ramai hurup hambangun praja. Bersemangat membangun desa ini.”

***

            Kerja bakti hari Minggu pun dilaksanakan. Bahan-bahan sudah disiapkan. Perangkat desa dibantu masyarakat tukang cat dan yang bisa mengerjakan listrik, menyulap Kantor Desa menjadi terang benderang. Tidak terkesan singuplagi, tapi cerah ceria layaknya rumah-rumah yang baru dihuni.

            Namun, di belahan desa sana, orang yang dituakan tanpa direncanakan berkumpul. Mereka membicarakan soal bersih-bersih Kantor Desa.

            “Kalau hanya untuk dibersihkan itu tidak masalah. Tapi kalau ada niat tersembunyi untuk mengusir penghuni Kantor Desa itu sudah keterlaluan. Petinggi (Kepala Desa –pen) Markasan ini kok gak ngerti unggah-ungguh, gak ngerti adat.” Kata salah seorang.

            “Kalau mau bersih-bersih, tidah hanya ngecat Kantor Desa, tapi juga perlu bersih desa,loh.”

            “Coba usir saja mereka yang ada di situ kalau berani tanggung akibatnya.” Orang yang memakai udeng itu bicara telak.

            Mereka kemudian bubar, menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

Sementara di Kantor Desa kerja baktinya juga sudah selesai. Kantor Desa tidak hanya bersih dan terang, tetapi juga indah dan asri. Rupanya ibu-ibu PKK juga ikut menanam bunga di halaman. Ada yang menyumbang pot segala, ditanami bunga beras kutah. Pohon beringin di pojok halaman dirapikan, batangnya dicat putih.

            Waktu apel Senin pagi wajah Pak Petinggi tampak sumringah. Ia menyempatkan pidato di hadapan bawahannya. “Memang harus begini Kantor Desa itu. Kita pasti akan betah kerja di sini, melayani penduduk mengurus segala keperluannya. Pastilah nanti tidak akan ada lagi segala persoalan yang bakal diselesaikan di jalanan. Ini baru langkah awal, tapi mari kita beri tepuk tangan.”

            Plok, plok, plok. Mereka semua tepuk tangan. Habis apel mereka langsung ke tempat kerja masing-masing. Mereka tenggelam pada pekerjaanya dengan penuh semangat, sampai-sampai tak tahu waktu istirahat siang tiba. Untung Pak Petinggi Markasan mengingatkan.

            Demikianlah mereka bekerja tanpa keluhan. Markasan sendiri ingin menerapkan wasiat yang dipesankan Ki Hajar Dewantoro, ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberi contoh, di tengah-tengah ikut memberi semangat, di belakang ikut mendorong. Itu sejatinya pemimpin! Ia bekerja seperti tidak ada habisnya. Ada saja yang dikerjakan, apalagi Petinggi sebelumnya mewarisi pekerjaan kantor yang terbengkalai.

            Sering kali malam hari Kantor Desa tampak terang benderang oleh lampu neon 40 watt. Di dalam kantornya Markasan sedang lembur, tanda tangan kartu keluarga, atau lagi membuat konsep peraturan desa (Perdes). Penduduk pun jadi senang, karena bisa mengurus berbagai keperluan administrasi kependudukan pada malam hari. Mereka bisa tidak terburu-buru mengerjakan pekerjaannya di siang hari. Usaha Petinggi Markasan mulai ada hasilnya: mengubah semangat desanya.

            Demikianlah lambat laun, Markasan juga membawa perlengkapan pribadinya ke Kantor Desa. Dari pada pulang untuk mandi, istrinya menyiapkan sabun, handuk, sikat gigi di kamar mandi Kantor Desa. Toh, kamar mandi Kantor Desa tidak luput dari pembenahan. Sudah bersih. Ia juga menempatkan tempat tidur lipat di pojok kantornya. Kadang kalau lelah dia perlu pejamkan mata sebentar, luruskan punggung, di atas tempat tidur lipat itu. Tidur di Kantor Desa ternyata tidak beda jauh dengan tidur di rumah.

            Maka, dia juga sudah menganggap Kantor Desa sebagai rumahnya yang kedua. Kalau lembur sampai malam, ia tinggal geledaksaja di tempat tidur lipatnya. Masalah istri sudah paham, toh dia tidak meninggalkan jatah untuk istri. Jatah jasmani jatah rohani. Waktu setor ya setor. Istri tidak marah, malah mendukung.

***

            Namun, masalah mulai muncul pada suatu malam. Waktu dia tidur sehabis mengoreksi data kontribusi perusahaan-perusahaan yang ada di desanya, pintu kantornya ada yang mengetuk. Ia tengok jam di dinding sudah jam satu. Ah, masak ada orang mengurus surat tengah malam? Pastilah ada sesuatu yang sangat-sangat mendesak. Ketika dia buka pintu tidak ada orang, hanya angin menanpar muka. Ia tutup lagi dan kembali ke tempat tidur lipat.

            Belum sampai mata terpejam, ketukan pintu berbunyi lagi. Dia mendengar dengan jelas, tak ragu. Ia buka lagi pintu, klek-klek-klek. Kosong di luar.

            Markasan merasa ada yang ingin main-main dengannya. Itu artinya ada yang punya niat mengganggu kepemimpinannya. Berarti pula situasi desanya akan menjadi goyah. Ia putuskan keluar kantor dan duduk di Pendopo. Udara memang sedang dingin, bulan hampir mencapai purnama. Hansip kemana? Ia membaca papan piket. Ya, mungkin sedang keliling desa.

            Markasan kembali ke dalam kantor setelah tidak terjadi apa-apa. Tapi belum lelap tidurnya, Markasan mendengar suara pintu dibuka dan ditutup. Ia pergi ke pintu, di luar terlihat sosok berjalan dan hilang di pojok halaman Kantor Desa, di pohon beringin yang rimbun daunnya.

            Sekali, dua kali, tiga kali, dalam malam-malam yang berbeda, sosok-sosok itu muncul meskipun dengan bentuk berbeda-beda. Markasan merasa terganggu dengan munculnya sosok-sosok itu. Dia mulai ragu dengan pendapatnya ketika awal menjabat Kepala Desa. Benarkah Kantor Desa ini memang ada penghuninya? Pikirnya.

            Ibaratnya jarum jatuh di ujung desa akan terdengar di ujung lainnya. Apalagi peristiwa besar yang dialami orang nomor satu di desanya. Hanya saja penduduk, terutama mereka yang dituakan, merasa was-was. Jangan-jangan benar, Petinggi Markasan akan mengusir penghuni Kantor Desa dengan merobohkan pohon beringin itu. Mereka dulu mengusulkan agar ditanam pohon beringin di pojok halaman agar para penghuni itu merasa terlindungi. Katanya, pohon ini akan membuat mereka lebih sejuk. Kalau pengusiran itu yang diputuskan Petinggi Markasan?

            Tetapi tidak. Markasan tidak segegabah yang mereka sangkakan. Secara diam-diam, dan tentu juga akhirnya tetap diketahui penduduknya, Markasan konsultasi kepada “orang pintar”.

            Ia pulang membawa dua pilihan yang, baginya,  sama-sama berata. “Orang pintar” itu mengatakan, “Yang muncul itu demit, bangsa iblis. Tapi jangan takut. Kita bisa menundukkannya. Jadi, mereka itu bisa diusir atau dibiarkan saja di situ untuk sampeanjadikan teman. Terserah Pak Petinggi.”

            Markasan lansung saja memutuskan, “Diusir saja.”

            “Jangan gegabah dulu. Semua ada resikonya. Kalau diusir mereka minta sangu. Sangunya itu yang berat, harus ada nyawa yang mengantarkannya. Alias perlu tumbal, dan tumbal itu manusia. Boleh anak kecil, orang dewasa, perempuan, laki-laki, sama saja. Nah, saya sarankan jadi teman.”

***

            Berhari-hari Petinggi Markasan menimbang-nimbang pikiran. Ia minta cuti agar tidak terpengaruh suasan di kantor. Ia menyepi ke tempat yang tenang. Dan pada akhirnya, Petinggi Markasan memutuskan dengan bulat. Tidak mengusir demit itu, yang berarti juga menjadikannya sebagai teman.

            Markasan disertai beberapa Perangkat Desa membawa “orang pintar” ke Kantor Desa pada jam 12 malam. Orang pintar itu keliling Kantor Desa sejenak, kemudian duduk bersila di bawah pohon beringin. Ia mencipta keheningan, membaca mantra. Angin diam, awan tak bergerak. Anjing menyalak. Markasan membisu.

            Sebentar kemudian Petinggi Markasan dipanggil “orang pintar” itu. Ia diperkenalkan dengan penghuni yang tidak dapat dilihat orang lain yang ikut hadir. Ia teteskan darah di ujung telunjuknya sebagai tanda persahabat. Sejak detik itu Pak Petinggi Markasan berteman dengan para iblis di Kantor Desa.

            Yang hadir malam itu memang tidak ada yang menyaksikan dengan mata kepalanya. Namun, kabar ini begitu cepat menyebar. Tidak membutuhkan sampai waktu tengah hari keesokannya, semua penduduk mengetahui.

            “Aku rela, agar desa ini tidak timbul gejolak.” Kata Markasan kepada bawahannya.

            Kerelaan Markasan membuat masyarakat kagum. Karena mereka anggap sebagai pengorbanan yang besar. Kemudian rasa kagum itu membersitkan rasa sungkan. Bertambahlah kewibawaan Petinggi Markasan.

            Namun bersahabat dengan demit juga tidak mudah. Kadang-kadang, bahkan teramat sering, Markasan tak mampu mengendalikannya. Para demit suatu ketika ikut rapat dinas Pemerintahan Desa --tentu tanpa bisa dilihat peserta lainnya-- membisikkan tentang strategi untuk memajukan desa ini. Demit menyarankan membangun ini membangun itu. Dananya bisa dimintakan swadaya pada masyarakat, terutama perusahaan-perusahaan yang ada di desa ini. Rumah Markasan pun perlu dibangun. “Masak pengorbanannya sudah cukup besar, genting rumahnya banyak yang pecah.” Kata salah satu demit.

            Markasan sanggup. Semua program yang dibisikkan demit harus dijalankan bawahan dan masyarakatnya. Dan semuanya berhasil dikerjakan dengan waktu yang tepat. “Itu semua juga karena bantuan teman-teman demit. Kami ini adalah tim sukses Pak Markasan.” Kata salah satu demit yang menemani Markasan meninjau jembatan yang sudah selesai.

            “Saya merasa berhutang budi dengan teman-teman demit. Apa yang bisa saya berikan untuk membalasnya?” Kata Markasan.

            “Oh itu tidak perlu. Teman-teman demit tidak membutuhkan apa-apa. Asal Pak Markasan sukses, kami ikut senang. Cuma, kalau jalan-jalan begini keliling desa kita bisa cepat lelah. Sebaiknya Pak Petinggi mencari kendaraan. Kalau tak bisa yang bermotor, kuda pun lebih baik.”

            Tidak sampai seminggu, Petinggi Markasan sudah berkuda jantan yang gagah. Di atas kudanya ia juga tampak lebih gagah. Dan semakin rajin keliling kampung. Kalau keliling kampung ada saja demit yang ikut bonceng.

            Saat melakukan kunjungan di suatu kampung, ada seorang janda cantik menganggukkan kepala pada Markasan.

            “Pak Markasan,” Kata demit yang menyertai, “Janda itu butuh bantuan.”

            “Bantuan apa?” Markasan mendekatkan mulutnya pada telinga demit.

            “Dia butuh laki-laki.” Saran demit.

            “Ngawur kamu.” Bentak Petinggi Markasan. “Saya punya istri. Kalau istri tahu bisa marah.”

            “Gampang, bujuk Bu Petinggi plesir, suruh ajak teman-temannya.”

            Markasan menuruti saran demit. Ia menawarkan istrinya untuk plesir. Tidak hanya sehari dua hari, tapi seminggu. Istrinya setuju. Markasan memberi uang saku yang besar untuk belanja. Dan Markasan rajin mengunjungi kampung itu setiap malam, menemui janda cantik itu.

***

            Namun, semenjak ada program aneh-aneh yang harus dilaksanakan, Markasan tidak tahu kalau ada penduduk yang berpapasan dengannya menundukkan kepala sebagai tanda rasa takut, atau sedang menyembunyikan mukannya dari rasa kesalnya. Markasan merasa itu penghormatan penduduk yang dalam untuknya.

            Ketakutan penduduk itu semakin tampak nyata ketika salah seorang diantaranya dihardik Markasan, gara-gara belum melunasi iuran pembangunan desa. “Itu artinya kamu tak cinta pada desamu! Tidak nasionalis!”

            Ya. Ya. Markasan memang sudah terpengaruh para iblis, temannya itu. Orang-orang yang dianggap tua tidak bisa memperingatkannya. “Orang pintar” yang dulu diminta membantunya sudah angkat tangan.

            Tetapi, waktu selalu tidak dapat ditebak. Sore itu menjelang magrib, Markasan memergoki salah satu demit temannya masuk perusahaan eternit. Ada apa ia kesana?

            Esok paginya Markasan mencoba telepon perusahan eternit itu.

            “Halo. Saya Petinggi Markasan.”

            “Oh, ya Pak. Beres. Jam sepuluh dikirim langsung ke rumah Bapak 20 sak semen.” Kata yang diseberang sana.

            “Semen apa? Sampeanini siapa?”

            “Saya Kepala Gudang, Pak. Kemarin menjelang maghrib Bapak kan datang, katanya perlu semen 20 sak. Sudah saya konsultasikan dengan atasan, dan tidak ada masalah.”

            “Siapa yang menemuimu kemarin?”

            “Pak Petinggi.”

            Markasan gemetar disebut di ujung telepon.

            “Bukan, itu makhluk lain barangkali.”

            “Makhluk lain bagaimana Pak.”

            “Iblis, mungkin.”

            “Saya masih bisa membedakan iblis dengan Bapak, maksud saya dengan manusia. Yang datang kemarin Pak Petinggi.”

            “Bukan, itu iblis.”

            “Pak Petinggi.”

            “Iblis!”

            “Pak Petinggi..”

            “Iblis!”

            “Pak Petinggi...”

            “Ibliiiss...”

            “...”

            Cukup panjang Markasan bersaut-sautan dengan Kepala Gudang. Sesudah menutup telepon, ia tercenung di tempat tidur lipatnya. Dunia terasa gelap, segelap langit malam dengan nyala beberapa bintang. Pendar bintang yang menakutkannya.***

Djoglo Pandanlandung Malang
2003/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun