Seperti perempuan yang lalu, laki-laki ini melihat Satir dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bersandal japit dari karet, celana, baju, dan kopiahnya sudah pudar. Bau keringat. Dan membawa buntalan dalam tas plastik.
“Bapak siapa? Dan perlu apa?”
“Tadi sudah saya katakan pada ibu yang jaga, saya temannya Pak Basuki waktu kecil. Keperluan saya, ingin melihat topeng yang dipajang di ruang kerjanya. Ini penting.”
“Penting? Bapak masih ada tamu yang lebih penting.”
“Tadi katanya rapat.”
“Ya, rapat dengan tamu penting!”
Laki-laki itu meninggalkan Satir.
Tak betah menunggu beberapa lama lagi, Satir jalan ke tingkat dua. Setiap orang yang berpapasan dengannya, memandangnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan segera pergi sambil mengucek hidungnya.
Akhirnya, Satir menemukan ruangan yang pintunya cukup lebar. Dengan mengeja ia baca plakat di depan pintu: RUANG BUPATI.
Semula ia ingin mengetuk pintu, tetapi diurungkan. Ia takut mengganggu. Maka, ia putuskan untuk menunggu di depan ruang itu beberapa lama.
Satir pun berdebar ketika mendengar selot pintu diputar. Ia berdiri tegak. Beberapa orang yang wangi, berdasi, bersepatu mengkilap keluar dari ruangan itu dan bersalaman dengan laki-laki bersafari. Itu dia Bupati Basuki.