Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Topeng di Meja Bupati

5 Mei 2016   22:35 Diperbarui: 6 Mei 2016   18:48 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pengukir Topeng

Bagaimana akhirnya Satir bisa membuat topeng, tidak perlu diceritakan di sini. Dan bagaimana bisa banyak orang tahu kalau ia bisa membuat topeng, tidak banyak orang yang tahu. Semua orang yang datang kepadanya untuk dibuatkan topeng, selalu alasannya satu: untuk dijadikan piandel bagi dirinya.

Satu di antara orang yang minta dibuatkan topeng adalah sahabatnya waktu kecil di kampung. Namanya Basuki. Mereka cukup lama tidak bertemu. Awal perpisahan mereka, ketika Basuki masuk SMP di kota dan indekos di sana, Satir mulai mengembara dari satu pelosok ke pelosok, dari desa ke desa, ikut siapa saja yang memungutnya jadi anak asuh. Ya, harus dikatakan, ia yatim piatu sejak umur satu tahun.

Jadi, kalau dihitung, sudah sekitar 40 tahunan mereka mereka bertemu kembali.Seperti tamunya yang lain dari kota, Basuki datang naik mobil, turun di pinggir jalan sana, kemudian jalan kaki 500 meter ke rumah Satir, yang lebih tepat dikatakan gubuk itu. Satir hampir tidak mengenal Basuki, karena wajahnya begitu bersih, dan rasanya umurnya seperti lebih muda dari Satir. Baru ketika Basuki menyebut desa mereka berasal Satir ingat siapa yang datang.

Sementara Satir memelihara kekagumannya, Basuki bicara bagai air bah tumpah ruwah. Dia cerita perjalanannya. “Aku aktif di organisasi pemuda di bawah naungan sebuah partai politik sejak aku jadi mahasiswa. Ini yang mengantarku jadi ketua partai di tingkat kota madya. Kesibukanku kian padat, ya yang banyak bertemu dengan penggede-penggede negeri ini. Namun cita-citaku belum luntur, seperti ketika aku katakan kepadamu waktu akan mandi di sungai dulu. Bagaimana tetangga kita yang berdinding gedeg jadi gedong, jalan makadam jadi aspal mulus. Ya aku ingin mewujudkan tata tentrem kerta raharjo”.

Satir masih mengagumi Basuki.

“Aku sowan ke sini mau minta restumu.”

“Aku ini orang apa Mas Bas,” Satir celingukan.

“Kamu sudah terlalu kondang untuk didengarkan. Aku ini akan mencalonkan bupati. Aku juga sudah dinasihati tim suksesku. Pemilihan Bupati ini permainan yang setiap calonnya pasti gak lombo. Tolong buatkan aku topeng untuk sikep.”

Basuki pamit pulang. Tak lupa salam tempel segebog uang dalam amplop. Satir menolaknya, Basuki memaksanya. Satir mengembalikan lewat ajudan Basuki, oleh ajudan Basuki dikembalikan pada istri Satir. Istri Satir melongo.

Begitu baiknya Basuki. Berhari-hari Satir belum menemukan bentuk topeng yang akan digarap. Ia ingin membuat topeng yang terbaik untuk Basuki. Topeng yang dilihat bisa menyenangkan. Juga, topeng yang menggambarkan watak yang baik pula. Ia bayangkan Raden Gunung Sari yang kerap dimainkan dalam Wayang Topeng Malangan. Tokoh yang senantiasa mempertahankan kebenaran, tokoh yang senantiasa dinasihati Potrojoyo. Juga terlintas Krisna, tokoh dalam wayang kulit yang cerdas dan memiliki sifat dewata. Yak! Perpaduan yang menggiurkan.

Ketika Satir sudah mulai memegang pangot dan siap meraut kayu, wajah ideal yang ia bayangkan berubah. Tokoh siapa lagi ini? Satir tidak bisa meneruskan mengerjakan topeng ini.

Tiga hari sebelum pemilihan Bupati Satir sudah bisa memastikan tokoh untuk Basuki. Dalam benaknya tak berubah lagi, tokoh Panji Asmoro Bangun, Pejabat Jenggala Manik dalam cerita Wayang Topeng Malangan. Raja yang disegani, adil dalam tindakannya, digdaya dalam menghadapi lawan-lawannya. Satir mengerjakan topeng ini dalam tiga hari terus menerus. Dan selesai. Selesai menjelang detik-detik pemilihan bupati.

***

Basuki memenangkan pemilihan bupati. Lima hari setelah pemilihan, ajudan Bupati Basuki datang. “Bapak mengharap panjenengan rawuh dengan membawa topeng pesanan Bapak.”

Karena Satir memang sedang menganggur, ia berangkat mengantar topeng Bupati Basuki bersama ajudannya. Meskipun Basuki teman kecilnya, perasaannya bergemuruh juga. Ia membayangkan Basuki bersama istri dan keluarganya akan menyambutnya dengan hangat. Pastilah istri Basuki cantik. Kalau ada teman-temannya, Satir akan diperkenalkan sebagai temannya waktu kecil. Bangga juga rasanya, orang desa seperti Satir memiliki teman bupati. Dadanya seperti membusung mengatakan, “Nih, sahabat masa kecil Bupati Basuki.”

Di rumah Basuki banyak sekali tamu. Ada pentolan-pentolan partai yang mendukungnya, ada dari gubernuran, juga ada orang dari Pusat. Banyak orang, sampai rumah Basuki tidak cukup.

Oleh ajudan Basuki, Satir disuruh menunggu di halaman belakang, di bawah pohon mangga dekat dapur. Ia diberi satu kotak kue dan satu gelas air mineral. Minumnya ia sedot sedikit-sedikit, sampai habis setelah dua jam menunggu. Dua potong kue juga habis pada satu jam berikutnya. Satir mulai gerah. Kekagumannya melihat tamu-tamu Basuki berubah menjadi kegelisahan.

Untung saja ajudan Basuki datang tak lama kemudian.

“Pak, Bapak mohon maaf, tidak bisa menemui Bapak.”

“Tidak apa-apa. Kalau begitu...” kata Satir tahu diri.

“Ya, Pak, topeng itu disuruh menitipkan pada saya.”

Topeng Bupati Basuki yang ia bungkus dengan kain putih diserahkan kepada ajudan Basuki.

Ajudan Basuki kembali dengan membawa kue dalam kotak dalam tas plastik dan seamplop uang diberikan kepada Satir.

“Tidak usah repot-repot begini.”

“Bawa saja Pak, ini bekal untuk Bapak pulang. Saya hanya bisa mengantar Bapak sampai terminal.”

***

Sudah lebih tiga bulan, kunjungan Satir ke rumah Basuki terlupakan. Ketika ia baru saja menyelesaikan sebuah topeng dengan paras burung garuda, ajudan Bupati Basuki datang membawa sepucuk surat dari Basuki, isinya singkat saja: “Terima kasih. Topeng buatanmu cocok sekali untuk saya.”

Satir tersenyum, bangga.

“Topengnya dipasang di mana?” tanya Satir iseng saja.

“Di ruang kerja Bapak. Di atas meja kerja.”

Satir manggut-manggut, meskipun sesungguhnya dia tidak bisa membayangkan letak topeng itu.

Suatu kali Satir ingin melihat topeng yang dipasang di ruang kerja Basuki. Ia perlu datang karena mimpinya tiga hari berturut-turut ini. Dalam penampakan mimpinya, topeng yang diberikan kepada Basuki duduk di pojok rumahnya dan terisak, menangis. Topeng itu menangis dalam mimpi tiga hari berturut-turut!

Mudah saja mencari kantor Basuki, di sebuah gedung yang menghadap alun-alun.

“Bapak Bupati Basuki ada, Bu?” tanya Satir kepada seorang perempuan berseragam.

Perempuan itu memandangi Satir dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bersandal japit dari karet, celana, baju, dan kopiahnya sudah pudar. Bau keringat. Dan membawa buntalan dalam tas plastik.

“Bapak siapa? Dan perlu apa?”

“Saya temannya Pak Basuki waktu kecil. Keperluan saya, ingin melihat topeng yang dipajang di ruang kerjanya.”

“Bapak masih ada rapat.”

“Kalau begitu saya tunggu saja.”

“Silakan.”

Perempuan itu pergi.

Satu jam kemudian, ia beranikan untuk bertanya kembali. Kali ini kepada orang lain, laki-laki.

“Saya mau bertemu Pak Bupati, bisa?”

Seperti perempuan yang lalu, laki-laki ini melihat Satir dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bersandal japit dari karet, celana, baju, dan kopiahnya sudah pudar. Bau keringat. Dan membawa buntalan dalam tas plastik.

“Bapak siapa? Dan perlu apa?”

“Tadi sudah saya katakan pada ibu yang jaga, saya temannya Pak Basuki waktu kecil. Keperluan saya, ingin melihat topeng yang dipajang di ruang kerjanya. Ini penting.”

“Penting? Bapak masih ada tamu yang lebih penting.”

“Tadi katanya rapat.”

“Ya, rapat dengan tamu penting!”

Laki-laki itu meninggalkan Satir.

Tak betah menunggu beberapa lama lagi, Satir jalan ke tingkat dua. Setiap orang yang berpapasan dengannya, memandangnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan segera pergi sambil mengucek hidungnya.

Akhirnya, Satir menemukan ruangan yang pintunya cukup lebar. Dengan mengeja ia baca plakat di depan pintu: RUANG BUPATI.

Semula ia ingin mengetuk pintu, tetapi diurungkan. Ia takut mengganggu. Maka, ia putuskan untuk menunggu di depan ruang itu beberapa lama.

Satir pun berdebar ketika mendengar selot pintu diputar. Ia berdiri tegak. Beberapa orang yang wangi, berdasi, bersepatu mengkilap keluar dari ruangan itu dan bersalaman dengan laki-laki bersafari. Itu dia Bupati Basuki.

Saat tamu-tamu itu sudah pergi, Satir memberanikan untuk menyapa.

“Mas Bas.”

Bupati Basuki memandang Satir dari ujung kaki sampai ujung kepala. Bersandal japit dari karet, celana, baju, dan kopiahnya sudah pudar. Bau keringat. Dan membawa buntalan dalam tas plastik.

“Siapa kamu?”

“Saya Satir, temanmu waktu kecil...”

“Saya tak pernah punya teman gembel!”

Bupati Basuki menutup pintu. Sebelum pintu ditutup, Satir sekilas melihat topeng yang dipajang di atas meja kerja. Bukan topeng Panji, ya bukan! Tapi topeng Dasamuka!***

*) Cerpen ini disunting dari Cerpen Pusaka (Versi cetak terbit di Surabaya News, 2004)

Djoglo Pandanlandung Malang,
2004/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

GLOSARI:

  • Piandel=pusaka=sikep= benda yang dianggap dapat memberi kekuatan jasmani atupun rohani
    Penggede= pejabat
    Gedeg= dinding terbuat dari anyaman bambu
    Tata tentrem kerta raharja= ungkapan dalam masyarakat jawa untuk menunjukkan situasi damai yang berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani
    Sowan= mendatangi seseorang yang dianggap lebih tinggi derajatnya
    Kondang= terkenal atau dikenal luas
    Gak lombo= tidak tampil apa adanya dalam hal kekuatan rohani
    Wayang Topeng Malangan= drama tari yang penarinya memakai topeng yang bercerita tentang siklus panji, dengan wajah topeng, gerak tari, ritme, struktur berciri khas Malang (wilayah yang masuk dalam propinsi Jawa Timur, Indonesia)
    Pangot= alat untuk memahat/mengukir topeng
    Panji Asmoro Bangun= tokoh sentral dalam cerita panji yang senantiasa sebagai protagonis
    Digdaya= memiliki kekuatan jasmani dan rohani yang tidak terkalahkan lawannya
    Panjenengan= anda atau kamu
    Rawuh= datang
    Gerah= jenuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun