Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Akulah Tikus yang Digulung Bola Api

3 Mei 2016   09:57 Diperbarui: 3 Mei 2016   09:59 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Tikus Dimakan Api

Kekuatan kilat melecut tubuhku. Suara-suara mendadak berhenti. Cahaya menjadi pekat. Angin menjadi senyap. Dingin yang sejak tadi bersemayam dalam pori-pori lenyap seketika. Perlahan berganti hawa panas. Semakin panas. Dan, rasanya aku dibakar api 1.000 0C.

Aku terkejut ketika lecutan yang lebih dahsyat mendarat kembali di tubuhku. Suaranya memekakkan telinga. Bilur-bilur bersemayam di permukaan kulitku ditemani kesunyian. Aku mengangkat kepala. Berat. Masih ada sisa cairan mengering di pelipis. Ketika aku mendongak, tepat di ujung hidungku mengangkang sosok berjubah hitam bersedekap menggenggam cambuk merah. Inikah sosoknya yang akan menginterogasiku? Aku berharap ia utusan yang lemah lembut.

Ia melecutkan cambuknya, sauaranya menggema di uadara. Cetaaarrr!

“Siapa kamu?” katanya mulai menanyaiku. Suaranya dingin dan kaku.

Sesungguhnya itu pertanyaan yang mudah. Siapapun pernah mengenal aku. Namaku sudah pernah menghiasi berbagai halaman media massa hampir setiap hari, berpuluh puluh tahun. Dia juga pasti sudah mengenalku. Barangkali dia hanya menguji nyaliku, apakah aku masih bisa berkata dengan tenang dan senantiasa menyisakan senyum di sudut bibir. Dan aku memang sudah terbiasa dengan suasana semacam ini.

Aku akan jawab! Tidak hanya dengan keteguhan seorang yang sudah teruji dalam memegang tampuk pimpinan berbagai organisasi. Aku akan jawab dengan nada yang diplomatis. Suara yang halus, merdu, yang mendinginkan hati. Tapi ketika aku mencoba merangkai keinginanku ini, kepalaku rasanya dihantam martil. Sakit. Rasanya mau pecah.

Aku nekad memeras pikiran. Mulutku terkunci rapat. Jadinya, aku hanya ngedenseperti orang terdesak beol. Aku memompa semangat. Tapi, tidak sepatah kata pun yang bisa keluar. Sebaliknya, tubuhku bergetar, dan mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa menahan. Aku terjatuh di atas tanah becek. Keringat bercucuran, sedikit, sedikit, lama-lama membentuk kubangan. Dan mulutku seperti dipaksa grafitasi dari depan. Moncong. Ah! Kulitku tumbuh bulu. Apa pula yang tumbuh di sela pantatku?!

Saat si jubah hitam menyalakan korek apinya, sekilas aku melihat bayanganku di kaca yang terbentuk dari keringatku. Binatang? Jijik! Aku melihat jelas sosokku. Mulutku tiba-tiba menganga. Menganga. Meraung di udara.

“Aku, Tikus!”

***

“Hai, tikus...” katanya memulai interogasi di hari ke-217.

Bajindulll. Dia mulai rendahkan aku. Dia sudah menyebut aku tikus, pakai ‘t’ kecil lagi.”

“Jangan misuhlagi. Otakmu mudah dibaca di sini. Melihat daftar riwayatmu, kenapa kau ada disini? Kau, menjadi tikus pula. Kau termasuk golongan cerdik pandai, punya deretan gelar. Sayang belum doktor honoriscausa. Termasuk bijak. Dermawan. Sabar. Rajin ibadah... Sebentar, saya diskusikan dulu, barangkali kau kesini salah alamat.”

“Ya. Ya. Semoga salah alamat.”

“Diam! Kau sudah tak bisa berdoa lagi disini.”

Celetaaarrr! Cambuk itu berayun dan menyambar seperti kilat.

Aku tergelapar. Cambuk kekuatan kilat itu mendarat dipunggung, dada, paha, leher, wajah, kemaluan. Sejak itu cambuk mematikan ini mendarat di tubuhku tiga kali sehari. Aku tergelepar tiga kali sehari.

Aku senantiasa memohon, setiap ujung cambuk berayun-ayun. Tapi permohonan yang tak pernah tahan hembusan angin. Permohonan yang senantiasa terbang. Terbang menembus dinding-dinding kusam dan langit gelap.

Aku ingin mendekati sicambuk kilat. Tapi percuma. Mendekat berarti ulo marani gepuk. Cambuk akan mendarat lagi diluar jadwal. Yang aku butuhkan sekarang, tidak lain adalah juru lobi. “Aku memerlukanmu pembela-pembela setia.”

***

Mr.Balabala, ahli hukum lulusan Belanda. Hanya tersenyum. Aku sudah menjelaskan masalahnya. Dan keinginanku hanya satu, bebas! Sialnya, dia justru mendongeng masa perjuangan...

“Waktu tentara penjajah itu sudah mengepung kota. Tidak ada lagi hitungan. Kota itu bakal lumat. Seluruh penjuru sudah dijaga ketat. Tinggal tunggu aba-aba. Saat perintah menyerbu diletupkan, kota diobrak-abrik, porak-poranda, pintu didobrak, semah-semak disapu pelor. Tapi kita tahu, tak satu orangpun di dalam kota. Kota telah kosong.”

“Hhmm.’

“Tentara penjajah menduduki kota berhari-hari, tapi saat lengang kita serbu secara diam-diam. Satu dua tentara penjajah terbunuh. Lumayan juga dapat rampasan senjata. Sebelum mereka mulai memberondong kita pergi terlebih dudu ke hutan lewat lorong-lorong rahasia. Ini dilakukan terus menerus, sampai tak satu pun kekuatan lawan berbekas. Ini...”

Aku menggebrak meja.

“Aku tidak perlu pelajaran sejarah disini. Masalah ini berat. Banyak jebakkan yang akan memasukkan aku ke dalam sel. Kalian kubayar untuk ini.”

Mr.Balabala hanya tersenyum.

“Saya tidak sedang mengungkap sejarah Tuan. Tetapi saya ingin memperlihatkan strategi. Kita tidak mempunyai pilihan selain melawan. Melawan terang-terangan pastilah kalah. Kita belajar dari pengalaman sejarah. Kita lawan dengan gerilya.”

“Gerilya?”

Masa bodoh, yang penting aku menang, aku bebas...

***

Cetaaarrr! Suara lecutan mendobrak tidurku. Aku terkejut bukan kepalang. Saat mata mulai membuka. Saat telinga mulai mendengar. Saat hidung mulai membau. Belum kelihatan Si Jubah Hitam. Tapi apa ini? Bau wc, suara srek-srek-srek. Ada cahaya mengkilat dari muka kulitnya.

Astaga! Apa hukuman sudah mulai? Berpuluh kecoak, atau beratus kecoak, atau lagi beribu kecoak. Mengepungku. Aku seperi kotoran yang siap dijilatinya.

“Jangan takut Bang. Kita sahabat lama.”

“Sahabat lama?”

“Kami para pembelamu.”

“Pembelaku?”

“Yang akan membebaskanmu.”

“Berbondong-bondong kemari?”

“Maksud kami memang berbeda-beda. Tapi, tujuan hanya satu membebaskamu Bung!”

“Seperti dulu ketika di dunia? Mendekati kaki tangan Tuhan yang berhati putih?”

“Apa salahnya. Kita coba, dengan satu kata: gerilya.”

***

Di hari yang memasuki hitungan ribuan, dia datang kembali yang keribuan kalinya. Cetaaaarrr!

“Catatan. Bukti-bukti telah dikumpulkan. Pengajuan keberatan kamu sudah dipelajari. Tapi kami perlu kata sepakat bulat. Butuh waktu.”

Kami bergembira. Ini berarti tanda pembebasan telah tiba. Pasukan pembelaku pastilah sudah membungkam mereka dengan berbagai kesenangan. Kami bersiap-siap untuk pesta pora. Para kecoak menari-nari. Aku akan mengulang sejarah lagi: menang lagi. Bebas disini.

Namun begitu cepatnya waktu. Saat diujung pesta, suara itu muncul lagi. Suara si cambuk kilat. “Celetaaaaarrr!”

Aku terlonjak. Kecoak-kecoak terlonjak. Telinga kami pekak. Kulit rasanya terkelupas. Dihantam gema.

“Watakmu tidak berubah. Disini kau masih juga berusaha menyuap kami!”

Taaaarrrr!

Kilatan api menggulungku. Panasnya membakar seluruh jasad dan jiwaku. Hembusannya menerbangkanku. Melemparkanku. Entah, kemana. Entah sampai kapan. Hingga kini aku segumpal bola api yang melayang-layang. ****

Djoglo Pandanlandung Malang
 2004/2016
 iman.suwongso@yahoo.co.id

Glosari:

ngeden=menekan perut dengan nafas untuk mengeluarkan air besar
 beol=
mengeluarkan air besar
 Bajindulll=
kata umpatan di sebagaian masyarakat di Jawa
 misuh=
mengumpat
 ulo marani gepuk=
ular menghampiri pukulan= menghampiri mala petaka
 pelor=
peluru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun