“Waktu tentara penjajah itu sudah mengepung kota. Tidak ada lagi hitungan. Kota itu bakal lumat. Seluruh penjuru sudah dijaga ketat. Tinggal tunggu aba-aba. Saat perintah menyerbu diletupkan, kota diobrak-abrik, porak-poranda, pintu didobrak, semah-semak disapu pelor. Tapi kita tahu, tak satu orangpun di dalam kota. Kota telah kosong.”
“Hhmm.’
“Tentara penjajah menduduki kota berhari-hari, tapi saat lengang kita serbu secara diam-diam. Satu dua tentara penjajah terbunuh. Lumayan juga dapat rampasan senjata. Sebelum mereka mulai memberondong kita pergi terlebih dudu ke hutan lewat lorong-lorong rahasia. Ini dilakukan terus menerus, sampai tak satu pun kekuatan lawan berbekas. Ini...”
Aku menggebrak meja.
“Aku tidak perlu pelajaran sejarah disini. Masalah ini berat. Banyak jebakkan yang akan memasukkan aku ke dalam sel. Kalian kubayar untuk ini.”
Mr.Balabala hanya tersenyum.
“Saya tidak sedang mengungkap sejarah Tuan. Tetapi saya ingin memperlihatkan strategi. Kita tidak mempunyai pilihan selain melawan. Melawan terang-terangan pastilah kalah. Kita belajar dari pengalaman sejarah. Kita lawan dengan gerilya.”
“Gerilya?”
Masa bodoh, yang penting aku menang, aku bebas...
***
Cetaaarrr! Suara lecutan mendobrak tidurku. Aku terkejut bukan kepalang. Saat mata mulai membuka. Saat telinga mulai mendengar. Saat hidung mulai membau. Belum kelihatan Si Jubah Hitam. Tapi apa ini? Bau wc, suara srek-srek-srek. Ada cahaya mengkilat dari muka kulitnya.