“Hai, tikus...” katanya memulai interogasi di hari ke-217.
“Bajindulll. Dia mulai rendahkan aku. Dia sudah menyebut aku tikus, pakai ‘t’ kecil lagi.”
“Jangan misuhlagi. Otakmu mudah dibaca di sini. Melihat daftar riwayatmu, kenapa kau ada disini? Kau, menjadi tikus pula. Kau termasuk golongan cerdik pandai, punya deretan gelar. Sayang belum doktor honoriscausa. Termasuk bijak. Dermawan. Sabar. Rajin ibadah... Sebentar, saya diskusikan dulu, barangkali kau kesini salah alamat.”
“Ya. Ya. Semoga salah alamat.”
“Diam! Kau sudah tak bisa berdoa lagi disini.”
Celetaaarrr! Cambuk itu berayun dan menyambar seperti kilat.
Aku tergelapar. Cambuk kekuatan kilat itu mendarat dipunggung, dada, paha, leher, wajah, kemaluan. Sejak itu cambuk mematikan ini mendarat di tubuhku tiga kali sehari. Aku tergelepar tiga kali sehari.
Aku senantiasa memohon, setiap ujung cambuk berayun-ayun. Tapi permohonan yang tak pernah tahan hembusan angin. Permohonan yang senantiasa terbang. Terbang menembus dinding-dinding kusam dan langit gelap.
Aku ingin mendekati sicambuk kilat. Tapi percuma. Mendekat berarti ulo marani gepuk. Cambuk akan mendarat lagi diluar jadwal. Yang aku butuhkan sekarang, tidak lain adalah juru lobi. “Aku memerlukanmu pembela-pembela setia.”
***
Mr.Balabala, ahli hukum lulusan Belanda. Hanya tersenyum. Aku sudah menjelaskan masalahnya. Dan keinginanku hanya satu, bebas! Sialnya, dia justru mendongeng masa perjuangan...